TRIBUNNEWS.COM - Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Ibrahim Tompo, mengatakan Nurhayati bukan pelapor kasus dugaan korupsi APBDes Citemu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Nurhayati merupakan bendahara desa di Desa Citemu yang menjadi tersangka karena telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH).
Ia ditetapkan sebagai tersangka setelah menjalani serangkaian pemeriksaan sebagai saksi, bukan pelapor.
Ibrahim menyampaikan, pelapornya adalah Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yakni ketua BPD Desa Citemu.
"Saudari Nurhayati ini bukan sebagai pelapor seperti yang disampaikan dalam video singkat yang beredar di medsos."
"Namun, sebagai saksi yang memberikan keterangan. Jadi, untuk pelapor sendiri dari kasus ini adalah BPD Desa Citemu," ujarnya, Selasa (22/2/2022), dikutip dari TribunJabar.id.
Penyidik Polres Cirebon, kata Ibrahim, melakukan penyelidikan berdasarkan laporan yang diterima dari BPD Desa Citemu.
Dari hasil penyelidikan, ada dugaan tindak pidana Korupsi yang dilakukan Kades bernama Supriyadi.
"Sehingga meningkat ke penyidikan dan akhirnya menetapkan saudara Supriyadi sebagai tersangka, tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap pelaksanaan pekerjaan tahun anggaran 2018, 2019, 2020 APBDes Desa Citemu," jelasnya.
Baca juga: Minta Status Tersangka Segera Dicabut, Nurhayati Ajukan Gugatan Praperadilan
Baca juga: Dijadikan Tersangka, Nurhayati Si Pelapor Korupsi Drop dan Dirawat di Rumah Sakit
Penjelasan Ketua BPD Desa Citemu
Senada dengan pernyataan Polda Jabar, Ketua BPD Desa Citemu, Lukman Nurhakim, mengatakan jika Nurhayati bukan pelapor ke polisi.
Namun, Nurhayati melaporkan dugaan korupsi kepala desanya ke Lembaga BPD Citemu karena khawatir akan keselamatannya.
Ia menegaskan, jika Nurhayati tidak melaporkan dugaan korupsi tersebut ke BPD, kasus korupsi Dana Desa yang merugikan uang negara Rp 818 juta itu tak akan pernah terbongkar.
"Bu Nurhayati bukan pelapor langsung ke polisi. Bu Nurhayati lapor ke saya selaku Ketua Badan Pemusyawaratan Desa yang menampung semua aspirasi desa, baik perangkat dan masyarakat."
"Status Nurhayati saya rahasiakan karena membahayakan keselamatannya," katanya kepada Kompas.com di Desa Citemu, Selasa.
Baca juga: Masyarakat Anti Korupsi Turut Komentari Kasus Nurhayati, Pelapor Korupsi yang Jadi Tersangka
Baca juga: Soal Kasus Nurhayati Pelapor Korupsi yang Jadi Tersangka, Kompolnas: Ini Preseden Buruk
Lalu, demi keselamatan Nurhayati, Lukman melaporkan kasus dugaan korupsi itu ke kepolisian atas nama Lembaga BPD Citemu.
Pelaporan Nurhayati kepada lembaga BPD Citemu disertai bukti foto dan dokumen-dokumen yang mengarah pada tindakan korupsi kepala desanya.
Kesalahan Nurhayati yang Membuatnya Jadi Tersangka
Diberitakan TribunJabar.id, dalam kapasitasnya sebagai bendahara desa, Nurhayati menyerahkan uang untuk kegiatan proyek di desa tersebut ke kepala desa, bukan ke pelaksana kegiatan.
"Perbuatan Nurhayati telah memperkaya tersangka Supriyadi."
"Dari dasar itu penyidik melakukan penetapan saudari Nurhayati menjadi tersangka dan juga mengirimkan berkas perkara ke JPU, dan keduanya berkas perkara baik itu tersangka Supriyadi maupun tersangka Nurhayati dinyatakan P-21 atau dinyatakan lengkap oleh JPU," ucap Kombes Ibrahim Tompo, Selasa.
Selama diperiksa sebagai saksi, ungkap dia, Nurhayati memberi keterangan secara kooperatif.
Namun, perbuatan Nurhayati yang memberikan uang kepada Supriyadi selaku kepala desa, bukan ke pelaksana kegiatan anggaran dianggap melawan hukum.
"Walaupun (Nurhayati) tidak menikmati uangnya, namun hal ini yang melanggar Pasal 66 permendagri Nomor 20 tahun 2018 tentang Sistem Keuangan Dana Desa yang mengatur tata kelola regulasi dan sistem administrasi keuangan," imbuhnya.
Baca juga: Nurhayati Jadi Tersangka, LPSK: Bisa Buat Publik Takut untuk Laporkan Kasus Korupsi
Baca juga: Soal Kasus Nurhayati, KPK dan Bareskrim Polri akan Turun Tangan
Sebagai bendahara desa, Nurhayati seharusnya dianggap sudah mengetahui aturan tersebut.
"Seharusnya saudari Nurhayati memberikan uang kepada pelaksana kegiatan anggaran, namun anggaran tersebut diberikan kepada kepala desa atau kuwu dan hal ini sudah berlangsung selama tiga tahun anggaran."
"Sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara dan hal ini tentunya melanggar pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 Jo pasal 55 KUHP," terang Ibrahim.
(Tribunnews.com/Nuryanti) (TribunJabar.id/Nazmi Abdurrahman) (Kompas.com/Kontributor Kompas TV Cirebon, Muhammad Syahri Romdhon)