"Yang dilanggar pemerintah adalah Hak Ekosop.
Masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sungai menjadi terbatas akses ekonominya karena pembiaran itu," turut Natsir.
Pembiaran dalam konteks aduan keluarga korban itu karena selama ini pemerintah, Pemprov dan BKSDA Sulteng tidak melakukan upaya atas maraknya korban serangan buaya.
"Selama ini pemerintah hanya memasang papan bicara terkait keberadaaan buaya sementara warga bergantung hidup di sungai.
Mestinya ada upaya ekstra terhadap buaya itu agar manusia juga bisa beraktivitas di sungai," jelas Natsir.
Respon BKSDA Sulawesi Tengah
Sementara itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah merespon.
BKSDA mengalami dilema dalam penanganan buaya.
Plt BKSDA Sulteng Mulyadi Joyomartono menyebutkan, tugas BKSDA Sulteng adalah penyelenggaraan konservasi sumber daya alam yang ekosistemnya di cagar alam, suaka marga satwa, taman wisata alam dan taman buru.
BKSDA Sulteng juga harus memberikan perlindungan/konservasi jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi peraturan.
"Persoalan ini memang kompleks karena kejadiannya berada dalam habitat asli dari Buaya tersebut," kata Mulyadi kepada TribunPalu.com di ruang kerjanya, Rabu (2/8/2023).
BKSDA, kata dia selain mengelola suaka marga satwa, cagar alam kami hanya mempunyai fungsi perlindungan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi. Ini memang menjadi dilema tersendiri karena Buaya itu dilindungi sesuai dengan PP Nomor 7 Tahun 1999.
Sebelumnya, Ahmad Alfarabi yang sehari-hari bekerja mengatur pipa mesin sedot pasir di dasar sungai diterkam Buaya.
Usai terlepas dari terkaman Buaya, AA bergegas keluar dari sungai.
AA keluar dari sungai dengan kondisi kaki berlumur darah.(*)