Laporan Wartawan Tribunnews, Febri Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM - Prasasti Anggehan yang mendiami sebuah rumah warga di Desa Ngrundul, Kecamatan Kebonarum, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, masih menyisakan banyak tanda tanya.
Salah satunya berkaitan dengan pembacaan angka tahun prasasti tersebut. Para arkeolog dan peneliti tidak satu suara mengenai hal itu.
Arkeolog Goenawan Agoeng Sambodo yang akrab disapa Mbah Goen menyebut angka tahun prasasti itu ialah 769 Saka. Akan tetapi, beberapa peneliti lainnya membaca angka tahun itu sebagai 796 Saka dan lainnya.
"Bacaan saya itu adalah tahun 769 S. Jadi ini angka 7, ini angka 6, dan ini angka 9," kata Goenawan sambil menunjuk prasasti itu saat acara blusukan Komunitas Kandang Kebo di tempat prasasti itu berada, Minggu, (1/9/2024)
Menurut Goenawan, prasasti di depannya itu diukir pada sebuah lingga patok. Dia mengibaratkan lingga patok sebagai patok Badan Pertanahan Nasional (BPN) sekarang, yakni sebagai tanda batas.
Lingga itu memiliki tinggi 82 cm, lingkar bulatan 90 cm, dan kaki kotak 28 cm. Pada lingga terpahat tulisan melingkar berupa aksara Jawa Kuno sebanyak tiga baris dengan ukuran kurang lebih 4 cm.
Goenawan mengatakan ada prasasti Anggehan lainnya yang juga ditemukan di Klaten, tetapi kini disimpan di Museum Radyapustaka di Surakarta.
Prasasti di sana sudah pernah diteliti oleh sarjana asing. Sementara itu, prasasti yang berada di depannya itu baru ditemukan tahun 2000-an.
“Patok yang hampir serupa, sama, bulannya juga sama, tahunnya kemungkinan juga sama, tanggal dan segalanya itu juga sama, ditemukan tidak jauh dari sini, di Dusun Klorok, Desa Ksatrian,” kata dia.
Dia menyampaikan bahwa kedua prasasti itu menceritakan penetapan sima oleh Sang Pamgat Anggehan. Sima adalah daerah perdikan yang mempunyai hak untuk mengelola hasil pajak.
Baca juga: Blusukan ke Magelang, Komunitas Kandang Kebo Singkap Tabir Misteri Danau Purba Borobudur
Kata Goenawan, biasanya dalam buku pelajaran sekolah disebutkan bahwa sima adalah daerah bebas pajak. Namun, pernyataan itu tidak sepenuhnya tepat karena pajak tetap diambil oleh kerajaan.
“Hanya saja biasanya bagian-bagiannya adalah sepertiga masuk ke sima, digunakan untuk entah apa pun sesuai dengan ketentuan sima itu. Kemudian, sepertiga bagian untuk bengkok istilahnya, untuk para pengelola di sima itu. Sementara sepertiga yang lain masuk ke kas kerajaan.”
Adapun anggehan adalah salah satu birokrat yang masuk lingkaran dalam istana.
"Jadi, ada pejabat-pejabat tingkat kerajaan, ada pejabat-pejabat tingkat watak, ada pejabat-pejabat tingkat wanua," ucapnya.
Dia mengatakan lingga patok itu seharusnya berjumlah empat atau barangkali delapan. Namun, hingga saat ini hanya ditemukan dua saja.
Goenawan mengaku sudah mencoba memetakan garis-garis batas kendati hal itu masihlah suatu asumsi. Belum diketahui dengan pasti apakah temuan itu tetap berada pada posisi semula pada zaman dahulu.
Arkeolog berambut panjang itu kembali melihat-lihat angka pada prasati itu.
"Bacaan saya itu adalah tahun 769 S. Jadi ini angka 7, ini angka 6, dan ini angka 9," kata Goenawan lagi.
“Cuma beberapa teman yang lain membacanya sebagai 796 S. Monggo, mau yang dipercaya yang mana, monggo. Tapi di mata saya, saya melihat ini adalah angka 7, ini adalah angka 6, dan ini angka 9.”
Goenawan mengatakan salah satu peneliti yang membacanya sebagai 796 S adalah arkeolog Roelof Goris.
"Kemudian, [F.D.K] Bosch membaca sebagai 856 Saka. Kemudian, saya lupa siapa lagi, ada yang membaca sebagai tujuh berapa gitu. Itu semua ada di Oudheidkundige Verslag tahun 1928 kalau tidak salah."
"Penelitian kemarin oleh salah seorang mahasiswa UGM yang membandingkan pembacaan saya, pembacaan Goris, dan pembacaan dia sendiri, dia menyimpulkan bahwa tulisan ini adalah 796."
Ketika ditanya penyebab terjadinya perbedaan pembacaan itu, Goenawan awalnya mengaku enggan untuk mengomentarinya.
"Kalau angka 6, sih, bagi saya tidak begitu berbeda karena memang jelas angka enam itu seperti ini, tetapi biasanya yang menjadi masalah adalah angka 7 dan angka 9. Biasanya seperti itu."
"Di mata saya, sekali lagi ini 769, tetapi ada hasil tulisan kemarin itu ada yang 796 dengan beberapa alasan yang terus terang saya enggak hafal.”
Adapun acara blusukan ini adalah agenda rutin Komunitas Kandang Kebo setiap triwulan. Kandang Kebo adalah komunitas pelestari cagar budaya yang bermarkas di Ngalian, Ngemplak, Widodomartani, Sleman, DIY.
Ketua Kandang Kebo Maria Tri Widayati berujar blusukan kali ini mengusung tema “Menapak Jejak Mamratipura di Klaten”. Mamratipura adalah salah satu ibu kota Kerajaan Medang yang juga dikenal sebagai Kerajaan Mataram Kuno.
Hingga saat ini belum diketahui dengan pasti letak Mamratipura. Kata Maria, Mamratipura bisa saja berada di Klaten.