Diawal tugasnya, Bidan Eros juga tidak mematok harga pelayanan persalinan. Kala itu, dirinya pernah dibayar Rp 25.000.
“Saya terima, karena itu kemampuan keluarga pasien. Minta tolong persalinan, menyerahkan kepada saya agar ibu dan bayinya sehat,” ungkap dia.
Ia mengingat, satu kejadian yang tidak terlupakan ketika merujuk seorang perempuan warga Baduy Dalam saat melahirkan.
Ditemukan penyulit sehingga harus dibawa ke rumah sakit di Rangkasbitung.
Selain ditandu dengan berjalan kaki, ada proses izin kepada kepala adat.
"Kalau keluar bisa kena masalah adat. Saya menghadap kepala adat meminta izin. Sekembalinya ke Baduy, pasien ini tidak bisa langsung pulang ke rumah. Pasien ini harus disucikan dulu 40 hari, jadilah dia menginap di rumah saya agar suci kembali,” ungkap perempuan berhijab ini.
Kesulitan lain yang dirasakan Bidan Eros adalah alat komunikasi, khususnya di Baduy Dalam.
Ia hanya mengandalkan informasi dari mulut ke mulut jika ada pasien yang membutuhkan pertolongan karena itulah, Bidan Eros mencoba merekrut warga untuk menjadi kader.
Warga Baduy diberikan bekal pengetahuan terkait tanda-tanda ibu akan melahirkan.
“Beberapa warga seperti kepanjangan tangan kami para bidan. Melihat tanda-tanda ibu akan melahirkan apakah ada lender, darah atau mules. Sehingga mereka bisa memberitau kepada kami bahwa ada warga yang akan melahirkan dan membutuhkan segera pertolongan bidan,” kata Bidan Eros.
Melek Juga soal KB
Kini warga Baduy juga mulai sadar memakai kontrasepsi sehingga angka kelahiran di Baduy dapat ditekan.
Ia mengisahkan, berdasarkan adat istiadat warga Baduy dilarang menggunakan KB.
Butuh waktu juga untuk meyakinkan tentang KB.
Sama dengan mengedukasi warga soal kesehatan, meningkatkan kesadaran memakai KB juga melalui pendekatan hati ke hati.