News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

2.500 KK harus Direlokasi Hingga 10 Orang Tewas, Banjir Sukabumi Diduga Akibat Kerusakan Lingkungan

Penulis: Gita Irawan
Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Hingga Kamis (5/12/2024) pukul 19.00 WIB, jumlah korban meninggal dunia akibat bencana banjir dan tanah longsor di sejumlah wilayah Sukabumi, Jawa Barat bertambah menjadi total dua orang. Sebanyak 10 jembatan terputus.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banjir di sejumlah wilayah di Sukabumi Jawa Barat yang terjadi pada Selasa (3/12/2024) menimbulkan kerusakan yang sangat masif.

Banjir itu menyebabkan 10 orang tewas, sepuluh ribu lebih orang terdampak, hingga ratusan lainnya mengungsi.

Terkini Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto mengatakan terdapat 129 Kepala Keluarga (KK) terdampak yang harus direlokasi sementara karena rumah mereka hancur dan berada di lokasi yang rawan. 

Selain itu, lanjut dia, sebanyak 2.500 jiwa yang terdampak bencana juga harus segera direlokasi untuk memastikan keselamatan mereka.

Ia mengatakan proses relokasi ini membutuhkan penataan lahan yang matang, baik dari lahan milik pemerintah maupun swasta.

Hal itu disampaikan Suharyanto saat menyambangi pos pengungsian di Desa Bantargadung, Kecamatan Bantargadung, Kabupaten Sukabumi pada Jumat (13/12/2024).

Baca juga: Satu Korban Tertimbun Longsor di Sukabumi Ditemukan, Ini Kata Tim SAR

"Kami sedang mengidentifikasi beberapa opsi lahan relokasi, baik yang berasal dari lahan milik pemerintah provinsi dan daerah, maupun lahan swasta yang akan dibeli oleh pemerintah," kata Suharyanto dalam Siaran Pers BNPB pada Sabtu (14/12/2024).

"Selain itu, kami juga akan membahas kemungkinan penggunaan lahan perhutani untuk relokasi warga terdampak bencana," sambungnya.

Suharyanto menjelaskan jalur transportasi ke wilayah terdampak bencana sudah terhubung dengan lebih baik, meskipun masih ada tantangan di beberapa lokasi.

Ia juga memastikan akan terus memantau pekembangan pemulihan infrastruktur dan akses menuju pos pengungsian.

"Kami terus memonitor perkembangan pemulihan infrastruktur, dan akses menuju pos pengungsian semakin lancar," kata dia.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mencatat berdasarkan laporan yang diterimanya sejumlah akses jalan di wilayah Sukabumi yang terdampak bencana mulai dapat dilalui kembali. 

Ia mengatakan akses menuju lokasi Nanggerang dan Cijulang kini sudah dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, sementara jalan menuju Panumbangan masih terbatas hanya dapat dilalui oleh kendaraan roda dua. 

Selain itu, lanjut dia, ruas jalan Jubleg-Cimerang juga telah dibuka kembali untuk kendaraan roda dua maupun roda empat, memudahkan distribusi barang dan meningkatkan mobilitas masyarakat terdampak.

Kemudian di Kecamatan Lengkong, dua titik longsor yang sebelumnya menghalangi jalur utama di Kampung Cibandung telah dibersihkan dan sekarang sudah bisa dilalui kendaraan. 

Begitu pula dengan satu titik longsor di Kecamatan Jampang Tengah juga telah dibersihkan dan dapat dilalui dengan aman. 

Sementara itu, lanjut Abdul Muhari, satu titik pergeseran tanah di Jalan Kabupaten, Kampung Pasirlaja, Desa Bojong Tipar, yang sempat menghambat perjalanan, kini juga sudah bisa dilewati oleh kendaraan.

Tak hanya itu, jalan yang menghubungkan Palabuhanratu dan Cibareno yang sebelumnya terhalang juga telah dibuka sehingga memungkinkan kendaraan roda dua dan roda empat melintas kembali. 

Baca juga: Anggota Polri Bripka Miftahu Rochman Gugur Saat Bertugas Evakuasi Korban Bencana Alam di Sukabumi

"Proses pemulihan jalan-jalan ini merupakan bagian dari upaya lebih luas dalam mendukung pemulihan wilayah yang terdampak bencana, serta memastikan kelancaran distribusi bantuan dan mobilitas warga yang terdampak," kata Muhari dalam Siaran Pers BNPB pada Sabtu (14/12/2024).

Selain itu, tim gabungan penanganan bencana Kabupaten Sukabumi masih terus melakukan pendataan dan assessment di berbagai lokasi.

Ia mengatakan penanganan darurat telah selesai di sembilan kecamatan yaitu Sukaraja, Nagrak, Cicurug, Sukalarang, Parungkuda, Cisaat, Cidahu, Cicantayan, dan Caringin. 

"Untuk kecamatan-kecamatan ini, akses jalan, listrik, dan telepon sebagian besar sudah dapat dipulihkan. Sementara itu, penanganan masih terus berlangsung di 30 kecamatan dan 179 desa lainnya," kata Abdul Muhari.

Kerusakan Masif

Data sementara yang dihimpun BNPB hingga Rabu (11/12/2024) pukul 07.00 WIB, dilaporkan sebanyak 20.629 warga terdampak dan 3.464 warga mengungsi akibat bencana tersebut.

Abdul Muhari mengatakan data itu menunjukan peningkatan jumlah warga terdampak sebanyak 10.455 warga dan yang mengungsi bertambah sebanyak 476 warga yang tersebar di 184 Desa, di 39 Kecamatan di Sukabumi. 

Abdul Muhari mengatakan perubahan data ini bisa terjadi dikarenakan pergerakan data masih sangat dinamis.

"Dilaporkan sebanyak 1.605 rumah Rusak Ringan (RR), 1.829 rumah Rusak Sedang (RS), dan 2.058 rumah Rusak Berat (RB). Adapun upaya perbaikan dan relokasi masih dalam tahap pendataan," ungkap Abdul Muhari pada Kamis (12/12/2024).

Diduga Akibat Kerusakan Lingkungan

Dilansir dari TribunJabar.id, Direktur Eksekutif Walhi Daerah Jawa Barat, Wahyudin, mengatakan hasil pemantauan citra satelit menunjukkan kehancuran hutan di beberapa kawasan di Sukabumi.

Kehancuran itu diduga kuat diakibatkan aktivitas pertambangan emas dan tambang galian kuarsa. 

Salah satu kawasan yang terpengaruh adalah Kecamatan Waluran Jampang, di mana degradasi hutan diduga terkait dengan pembukaan lahan untuk proyek Hutan Tanaman Energi (HTE), yang bertujuan menyediakan serbuk kayu untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhanratu. 

"Dalam proyek ini, PT Perhutani selaku pengelola kawasan merencanakan pemanfaatan lahan seluas 1.307,69 hektare," kata Wahyudin dalam keterangannya kepada awak media pada Jumat (13/12/2024).

Ia menyebut aktor perusahaan yang diduga terlibat dalam kegiatan tersebut antara lain Perum Perhutani, PT PLN, dan PT BA, dengan kemungkinan keterlibatan perusahaan seperti Sinar Mas dan beberapa perusahaan asal China. 

Wahyudin juga mengungkapkan dugaan keterlibatan perusahaan lain yang bergerak di bidang serbuk kayu, seperti PT PLN Persero, PT Sinar Mandiri, dan PT Makmur Jaya Corporindo.  

“Banyaknya perubahan fungsi kawasan hutan menjadi lahan tanaman kaliandra dan gamal, yang sesungguhnya hanya menjadi kedok untuk menutupi aktivitas tambang ilegal. Tanaman-tanaman ini kemudian dipanen untuk pasokan serbuk kayu ke PLTU," kata dia. 

Selain itu, Walhi Jawa Barat juga menemukan kegiatan tambang emas di kawasan hutan yang diduga dilakukan oleh PT Wilton di Ciemas dengan luas konsesi 300 hektare, serta di Kecamatan Simpenan yang diduga dilakukan oleh PT Generasi Muda Bersatu. 

Bahkan, lanjut dia, kawasan perhutanan sosial tidak luput dari aktivitas tambang, seperti yang terjadi di petak 93 Bojong Pari dan Cimaningtin dengan luas 96,11 hektare.  

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukabumi, kawasan tersebut tidak termasuk dalam lokasi pertambangan dan bukan merupakan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).  

Bencana ekologis yang melanda wilayah Sukabumi, menurutnya, jelas dipengaruhi oleh kontribusi perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerah tersebut. 

Oleh karena itu, kata dia, Walhi Jawa Barat mendesak Kepolisian untuk menegakkan hukum terkait tindak pidana lingkungan.  

"Kami juga mendesak pemerintah untuk menuntut perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pemulihan lingkungan, mengganti kerugian yang diderita masyarakat, dan mengevaluasi areal perhutanan sosial yang dijadikan objek tambang," kata Wahyudin.  

Selain itu, kata dia, Walhi juga keberatan bila pemulihan lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat hanya dibebankan kepada negara. 

Setelah masa tanggap darurat bencana berakhir, Walhi juga mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat dalam bencana ekologis di Sukabumi.

“Kami juga berharap pemerintah tidak gegabah dalam memberikan izin kepada perusahaan ekstraktif dengan dalih investasi," ungkapnya.

"Bencana yang terjadi di beberapa tempat menunjukkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan ekstraktif dan seharusnya menjadi pelajaran," pungkas dia.

 

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini