Saat ini, anak Zulfirman Syah juga tengah menjalani perawatan.
"Anaknya, Omar, juga lagi mendapatkan perawatan yang intensif dari pemerintah setempat," ujar Irwan.
Zulfirman Syah tertembak saat mereka salat Jumat di Pusat Islam Linwood di Christchurch, Selandia Baru.
"Atas nama pribadi, masyarakat dan Pemprov Sumbar, saya mengutuk keras aksi penembakan membabi buta di Masjid Kota Christchurch Selandia Baru," kata Irwan Prayitno.
Baca: Korban Selamat Penembakan di Selandia Baru Lega Tak Ajak Anak-anaknya Jumatan
Baca: Seniman Asal Padang Jadi Korban Penembakan Masjid di Selandia Baru, Baru 2 Bulan Pindah
2. Sudah Merencanakan Aksinya Selam 3 Bulan
Brenton Tarrant tidak asal ketika melakukan penembakan di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru, pada Jumat (15/3/2019).
Melalui manifesto berjudul "The Great Replacement" yang dia buat sendiri, terungkap Tarrant sudah merencanakan aksi kejinya itu sejak lama.
Melansir Kompas.com melalui Independent.ie, Brenton Tarrant sudah merencanakan untuk melakukan penembakan massal selama dua bulan terakhir.
"Aku memulai rencana serangan ini sejak dua tahun terakhir. Kemudian menetapkan lokasi di Christchurch dalam tiga bulan terakhir," katanya.
Baca: KBRI Wellington Imbau Warga Indonesia di Selandia Baru Tetap Tenang dan Waspada
Baca: Seniman Asal Padang Jadi Korban Penembakan Masjid di Selandia Baru, Baru 2 Bulan Pindah
Dalam manifesto setebal 74 halaman itu, Tarrant memperkenalkan diri sebagai anti-imigran dengan para korban yang disebutnya sebagai "sekelompok penjajah".
Di manifesto tersebut, dia mengatakan ingin membebaskan tanah milik kaumnya dari "para penjajah" dan terinspirasi dari Anders Breivik.
Perlu diketahui, Breivik merupakan ekstremis sayap kanan yang menyerang kantor pemerintahan di Oslo, Norwegia pada 2011 silam.
Aksinya tersebut telah menewaskan sebanyak 77 orang.
Baca: KBRI Wellington Imbau Warga Indonesia di Selandia Baru Tetap Tenang dan Waspada
Baca: Tiga Menit Selamatkan Timnas Kriket Bangladesh dari Penembakan di Masjid Selandia Baru
Teroris yang kini berusia 40 tahun itu mengaku, dia membunuh para korban karena mereka mendukung multikulturalisme.