Membungkus rapat-rapat kesalahan pemerintah dan kejahatan politik yang terjadi pada masa lampau termasuk terhadap penyelesaian masalah tragedi 1965 di Indonesia, sama saja dengan menggelapkan fakta-fakta sejarah dan mewariskan sejarah yang gelap itu untuk generasi penerus bangsa.
Di kawasan Timur Indonesia, seperti di NTT, Papua, Maluku dan beberapa tempat di Sulawesi, Kalimantan dll. pelaku pembunuhan justru dilakukan oleh aparat pemerintah, dengan apa yang disebut sebagai "Komop" (Komando Operasi).
Komop merekrut para algojo yang rata-rata petani di desa, untuk melakukan pembantaian dan menguburkannya secara masal terhadap orang-orang desa yang diduga sebagai anggota dan simpatisan PKI, tanpa keluarga korban diberitahu kapan dibunuh dan dimana dikubur.
Karena itu kriteria para korban pembunuhan dan penguburan secara masal terhadap anggota masyarakat yang dicurigai sebagai anggota PKI, harus diperjelas terlebih dahulu oleh pemerintah demi keadilan dan kepastian hukum, agar tidak menimbulkan kegaduhan politik baru dan dendam baru yang tidak berujung.
Dengan demikian maka kebijakan menggali kuburan masal para korban berikut cara penyelesaiannya tidak boleh dilakukan oleh pemerintah secara parsial tanpa dasar hukum, bukan saja karena aparat pemerintah pada waktu itu berada pada posisi sebagai pelaku pembunuhan.
Akan tetapi karena RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsoliasi yang akan menjadi landasan penyelesaian masalah, belum disahkan oleh Pemerintah bersama DPR. Tujuannya adalah agar penyelesaiannya dilakukan secara menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral termasuk menggali kembali dan menyerahkan kerangka tulang belulang kepada ahli waris korban secara simbolik untuk dimakamkan kembali secara adat dan agama dalam keluarga dan lingkungan masing-masing.
Sangat tidak fair, kalau pada saat RUU KKR sedang dalam proses pembahasan dan pengesahan, lantas pemerintah berkeinginan untuk menggali kuburan para korban hanya sekedar untuk pembuktian terhadap polemik tak berkesudahan, kemudian menutup kembali kuburan itu tanpa ada penyelesaian apapapun, memberi kesan bahwa para korban masih terus diperlakukan secara tidak adil sebagaimana cara itu dilakukan ketika PKI dan Orde Baru memperlakukan para korban pada periode sebelum dan sesudah 1965.
Karena itu pilihan terbaik untuk menyelesaiakan pertanggungjawaban negara terhadap para korban, adalah menggunakan UU KKR namun tetap dengan pendekatan kultural, mengingat masing-masing daerah masih memiliki kultur atau budaya hukum yang sangat akomodatif dan terhormat untuk menyelesaikan setiap perbedaan pendapat yang timbul di antara mereka di tengah masyarakat.
Pemerimtah pusat sebenarnya cukup menetapkan pola penyelesaian secara umum, sedang secara teknis penyelesaiannya dipercayakan kepada pemda dan lembaga adat serta masyarakat adat di masing-masing daerah, guna menghindari resistensi, gejolak politik, kegaduhan politik baru yang tidak berujung.
Jika pemerintah menggunakan penyelesaian yang seragam menurut pola atau versi pemerintah pusat, maka kekhawatiran akan munculnya resistensi bahkan polarisasi antar warga masyarakat dengan para ahli waris, atau antar warga masyarakat dengan pemerintah daerah di sejumlah daerah yang mengarah kepada lahirnya konflik horizontal baru sebagaimana telah dikonstatir oleh Menteri Pertahanan Keamanan RI Jend Ryamizard Ryacudu tentang ketidaksetujuannya atas perintah presiden menggali kuburan para korban
Seiring dengan tingginya kesadaran hukum masyarakat, terutama masyarakat dan para ahliwaris korban yang sudah saling menerima dan memaafkan serta hidup berdampingan secara damai selama ini.