Sementara di penjuru dunia lain, Pokemon Go belum bisa dimainkan secara resmi.
Namun jangan kecewa, pengguna telepon pintar di luar tiga negara itu --yang sudah kebelet berburu Pokemon-- bisa mengunduh berkas berformat APK untuk memasang Pokemon Go di gawai masing-masing.
Di Indonesia sendiri, meski belum dirilis secara resmi, Pokemon Go sudah ramai peminat. Bahkan, pada 17 Juli 2016 nanti, konon diselenggarakan Gathering Trainer Pokemon Go Jawa Tengah di Alun-Alun Kebumen.
Simulakra dan religiositas
Dalam perspektif sosiolog pascamodernisme, Jean Baudrillard, Pokemon Go telah menciptakan sebentuk simulakra.
Secara sederhana, simulakra adalah mekanisme ruang di mana simulasi (dalam hal ini perburuan Pokemon) dilangsungkan.
Merujuk kepada Simulations karya Baudrillard (1983), Pokemon Go bisa dikategorikan simulakra tingkat ketiga atau simulakra yang lahir sebagai konsekuensi perkembangan ilmu sains dan teknologi informasi.
Dalam tingkatan tersebut, simulakra menjadi lahan segala silang-sengkarut tanda, citra, dan simbol budaya.
Dunia Pokemon, yang pada era '90-an sekadar dilihat di layar televisi, kini bisa langsung dialami.
Dalam mekanisme simulasi itu, manusia dijebak dalam ruang realitas yang dianggap nyata. Padahal, sesungguhnya, semuanya semu dan penuh rekayasa (Hidayat, 2012: 9-10).
Mekanisme simulasi, entah disadari oleh sang pemain atau tidak, juga berjalan dalam Pokemon Go.
Untuk memainkannya, memang betul, ada prasyarat realis yang mesti dipenuhi, yakni gerak dan perpindahan fisik.
Namun demikian, segala gerak dan perpindahan fisik semata mereka persembahkan untuk kepuasan semu di dalam layar.
Mau seberapa jauh berjalan, pemain Pokemon Go hanya menjumpai Pokemon di dalam layar.