Di luar sana, realitas tetaplah realitas.
Hidup berlangsung apa adanya.
Fenomena Pokemon Go, jika serta-merta dibiarkan, bisa saja menjelma menjadi problem perkotaan.
Selama ini, masyarakat urban lazim dianggap memiliki sikap hidup yang cenderung individualis/egois (Mansyur, 1980: 107).
Kendati begitu, interaksi sosial di antara mereka masih berlangsung walau motif yang ada seringkali materialistis dan ekonomis.
Nah, setelah kehadiran Pokemon Go, dapat dibayangkan, bagaimana kalau masyarakat perkotaan ramai-ramai memainkannya?
Setiap orang sibuk berjalan sendiri sambil menunduk menghadap gawai. Mereka berjalan tak tentu arah.
Terkadang berhenti untuk berjingkrak sesaat (pertanda berhasil menangkap Pokemon), lalu berjalan kembali tanpa merasa perlu memerhatikan lingkungan sekitar.
Meminjam terminologi populer Ulrich Beck, masyarakat modern adalah masyarakat yang penuh risiko.
Kemajuan teknologi, dalam kasus ini adalah Pokemon Go, bukan hanya menjadikan masyarakat perkotaan semakin individualis, tetapi juga menyibukkan diri pada aktivitas-aktivitas imajiner.
Realitas telah dicerabut dari masyarakat pemburu Pokemon.
Mereka jadi semakin transenden.
Realitas berbalik secara radikal, dunia yang dikejar kini ada di dalam layar.
Di sisi lain, segala gerak fisik dan perpindahan di dunia luar layar dipandang secara instrumental, yakni sekadar alat untuk mencapai dunia baru: dunia Pokemon.