Opini ditulis oleh Udji Kayang Aditya Supriyanto, Mahasiswa Sosiologi UNS
TRIBUNNEWS.COM - Bagi generasi '90-an, yang menghabiskan masa belia dengan menonton televisi pada setiap akhir pekan, tentu ingat dengan serial kartun Pokemon.
Serial tersebut mengisahkan tentang petualangan keliling dunia seorang pemuda bernama Ash Ketchum (atau dalam versi Jepang dikenal Satoshi) untuk mencari dan melatih Pokemon, monster yang dapat dipelihara serta diadu.
Ash sendiri memiliki teman Pokemon nan menggemaskan namun tangguh bernama Pikachu.
Teman Ash itulah yang sering menjadi maskot utama serial kartun Pokemon.
Barangkali, pemilihan Pikachu sebagai Pokemon utama hanyalah simbolik.
Sebab, ia adalah monster berelemen listrik.
Dan bagi manusia modern, listrik menjadi kebutuhan utama, bukan?
Jika mengingat kembali kisah di atas, generasi '90-an kini bolehlah merasa gembira.
Baru-baru ini, Nintendo, The Pokemon Company, dan Niantic Labs merilis permainan berburu Pokemon yang dapat dimainkan via telepon pintar.
Permainan bertajuk Pokemon Go tersebut memakai navigasi satelit sehingga memungkinkan si pemain merasakan sensasi berkeliling menyusuri sejumlah tempat di dunia nyata guna mencari Pokemon.
Dengan kata lain, Pokemon Go berbeda dari permainan lain. Pemain tidak cukup hanya duduk manis, tetapi mesti bergerak.
Alasannya, dengan bergerak, pemain bisa menemukan Pokemon di banyak tempat. Ambil contoh Pidgey (Pokemon burung) di pinggir jalan, Rattata (Pokemon tikus) di sekitar tempat sampah, atau Exeggcute (Pokemon telur) di restoran masakan Padang.
Secara resmi, Pokemon Go baru dapat diunggah oleh pengguna Android di Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru melalui Play Store.