Sutarji Calzoum Bachry menulis: “bagi saya puisi esai adalah puisi pintar. Yang dengan berbagai data, fakta, argumentasi bisa memberikan kepintaran bagi pembaca untuk memahami..."
Belasan pro dan kontra para pakar soal puisi esai sudah dibukukan dalam buku “Puisi Esai, Kemungkinan Baru Puisi Indonesia,” dengan editor Acep Zamzam Noor.
Dalam buku ini terdapat tulisan Ignes Kleden, Leon Agusta, Maman S Mahayana, Jamal D Rahman, Agus Sarjono, dan sebagainya.
Bahkan puisi esai sudah pula menjadi seminar internasional di Sabah Malaysia. Kritrikus dan sastrawan Asia Tenggara secara khusus membahas 22 buku puisi esai Denny JA. Itupun sudah dibukukan dalam “Temu Sastrawan Asia Tenggara: Isu Sosial Dalam Puisi.”
Tak kurang gegap gempita pro dan kontra di media, berita online bahkan sosial media. Dalam 10 tahun terakhir, bahkan mungkin 30 terakhir, tak ada gegap gempita dalam dunia sastra sebagaimana yang dialami oleh pro dan kontra puisi esai. Ini sendiri sebuah penanda bahwa puisi esai berhasil menjadi magnet zamannya.
Ketika ditanya bagaimana soal munculnya banyak petisi yang menolak kehadiran puisi esai di banyak komuniyas?
Kata Denny, semua genre di masa awalnya selalu terjadi penolakan.!Tak hanya di bidang sastra. Bahkan agama yang diyakini sebagai wahyu Tuhan tetap menghasilkan pro dan kontra yang sama.
Namun Denny juga menambahkan, soal puisi esai genre baru atau bukan, angkatan baru atau bukan, biarlah sejarah yang menilai. Jokowi punya prinsip: kerja, kerja, kerja. Para kreator ujar Denny, prinsipnya seharusnya hanya peduli pada: karya, karya, karya!*