Percampur adukkan batas masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden kedalam syarat calon memunculkan kerancuan tersendiri apakah pembatasan masa jabatan dapat dijadikan sebagai syarat pencalonan? atau sebaiknya batasan dimaksud dijadikan pasal tersendiri dalam ketentuan UU Pemilu untuk mempertegas mana syarat calon dan mana batasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Ketentuan Pasal 6, Pasal 6A dan Pasal 7 UUDN RI 1945 yang mengatur pencalonan, pasangan calon dan pasangan terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya haruslah dipandang sebagai satu kesatuan sistematis yang tak terpisahkan walaupun peran, fungsi, wewenang dan tanggungjawabnya berbeda karena Wakil Presiden berperan sebagai pembantu Presiden (Pasal 4 ayat (2) UUDN RI 1945.
Dengan cara pandang demikian, pemaknaan Pasal 7 UUDN RI 1945 dalam hal masa jabatan haruslah ditafsirkan sebagai masa jabatan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ketentuan Pasal 6 dan Pasal 6A UUDN RI 1945. Dalam kasus Jusuf Kalla (JK), pasangan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-JK baru terhitung satu periode (lima tahun) dan tidak dapat diperhitungkan pada periode SBY-JK (2004-2009) karena berbeda pasangan calon.
Beragam Tafsir
Pengalaman ketatanegaraan kita menunjukkan bahwa sejak UUD 1945 (sebelum diamandemen) masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun tetapi tanpa batasan masa jabatan sehingga Presiden Soeharto dapat dipilih sebanyak tujuh kali hingga berkuasa selama 32 tahun.
Pengalaman traumatik itu memunculkan sistem yang sentralistik, otoriter, despotik dan terjadi banyak pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum terselesaikan. Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Kelemahan Pasal inilah yang dimanfaatkan rezim Soeharto sehingga dapat berkuasa berkali-kali tanpa batasan masa jabatan.
Bahkan di era demokrasi terpimpin Soekarno (1959-1965), dikenal masa jabatan Presiden seumur hidup dengan dikeluarkannya TAP MPRS No. III/MPRS/1963 yang berdampak pada pembubaran DPR hasil pemilu 1955 dan pembubaran beberapa partai politik yang dinilai sebagai kontra revolusi.
Hasil amandemen Pasal 7 UUDN RI 1945 akhirnya berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Ketentuan Pasal ini kemudian diadopsi kedalam UU Pemilu pada Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i.
Kedua pasal diatas tidak konsisten dalam penulisan pada judul pasal yang menuliskan “Persyaratan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden” (Pasal 169) dan penulisan “Pendaftaran bakal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden” (Pasal 227) tapi pada penulisan berikutnya dalam huruf n maupun i kata “dan” antara kata Presiden dan frasa Wakil Presiden diganti menjadi “atau” sehingga tertulis “Presiden atau Wakil Presiden” yang mengubah makna dan konteksnya dari kata penghubung satuan kata dan frasa menjadi kata penghubung yang menandakan pilihan diantara keduanya.
Secara gramatikal, perubahan kalimat itu pula mengubah bentuk suatu satuan klausa yang membentuk kalimat yang dipahami secara jelas (noscitur a socis) menjadi pemahaman kalimat baru yang berganti makna dan konteks dengan mengganti kata “dan” menjadi “atau” dalam frasa “Presiden dan Wakil Presiden”, menjadi “Presiden atau Wakil Presiden”.
Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i merupakan adopsi dari Pasal 7 UUDN RI 1945 walaupun tidak lagi persis sama karena perubahan kata penghubung tadi bahkan pada penjelasan Pasal 169 huruf n ditambahkan lagi dengan frasa “baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut” yang makna sistematisnya dalam rangkaian pasal sebelum Pasal 7 UUDN RI 1945 yakni pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Penambahan frasa pada penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu itu sendiri tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada lampiran II angka 186 karena mempersempit atau menambahkan pengertian norma yang ada dalam batang tubuh UU Pemilu.
Penambahan frasa diatas dapat menimbulkan konflik norma antar peraturan perundang-undangan: UU Pemilu dan UU Pembentukan Peratuan Perundang-undangan. Dalam hal demikian, segala pembentukan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UU yang bersifat lex spesialis dapat dikesampingkan keberlakuannya.
Disisi lain, pembentukan Pasal 7 UUDN RI 1945 sebagai sumber adaptasi kedua pasal UU Pemilu yang mengatur batasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara original intent semangatnya pada masa itu mencegah terulangnya kekuasaan model Soeharto sebagai Presiden yang tanpa batasan masa jabatan dan tidak terlalu mempersoalkan Wakil Presiden.