Bila Anies Baswedan sukses sebagai Gubernur DKI Jakarta, maka Sandi bisa kembali berduet dengan Anies di Pilpres 2019 sebagaimana dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Keduanya bisa bertukar tempat, sebagai capres atau cawapres.
Mungkin Sandi menyadari masa depan politiknya masih sangat panjang mengingat kini ia baru berusia 49 tahun, sehingga berani mengambil jalan berseberangan dengan Prabowo.
Mungkin pula Sandi terinspirasi puisi "Aku" (1943) karya Chairil Anwar (1922-1949) yang berbunyi, "Aku ini binatang jalang / Dari kumpulannya terbuang / Biar peluru menembus kulitku / Aku tetap meradang menerjang / Luka dan bisa kubawa berlari / Berlari / Hingga hilang pedih perih / Dan aku akan lebih tidak peduli / Aku mau hidup seribu tahun lagi".
Lalu, bila nanti terbukti Prabowo kalah, maka mantan Komandan Jenderal Kopassus itu diniscayakan akan lengser dari jabatan Ketua Umum Partai Gerindra.
Partai berlambang Garuda ini tentu akan melirik Sandi sebagai prioritas utama untuk jabatan ketua umum, meskipun menjelang pilpres kemarin Sandi sempat melepaskan jabatannya sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra dan bergabung dengan PAN. Bergabungnya Sandi ke PAN ini diyakini hanya sebagai basa-basi politik semata.
Sebagi peraih suara terbanyak kedua di Pemilu 2019 setelah PDI Perjuangan, sesuai hasil sementara real count KPU, maka hanya berkoalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), PAN atau Partai Demokrat (PD) saja, Gerindra akan dapat mengajukan capres, dan diyakini akan memprioritaskan Sandi.
PAN juga nanti akan mencari sosok capres/cawapres untuk Pilpres 2024. Sandi pun akan dilirik dan bersaing dengan Zulkifli Hasan.
PKS dan PD pun akan setali tiga uang. PKS dan PD, yang dalam Pilpres 2019 ini berkoalisi dengan Gerindra dan PAN, diyakini hanya akan mengajukan kandidat di level kedua, yakni cawapres.
Bukan tidak mungkin pula PDIP yang belum punya tokoh sekaliber Jokowi atau Ketua Umum Megawati Soekarnoputri akan melirik Sandi, minimal sebagai kandidat cawapres di Pilpres 2024.
Konon, kekuatan suara hati nurani manusia setara dengan kekuatan Tuhan, karena suara hati nurani yang bersih berasal dari Tuhan. Tak seorang pun mampu mematahkan kekuatan Tuhan. Dalam konteks pemilu, suara Tuhan mewujud sebagai suara rakyat, “vox populi vox Dei”.
Akankah Sandi dipilih Tuhan sebagai pemimpin masa depan Indonesia? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, bila konsisten dengan suara hati nuraninya, maka Sandi tidak akan sekadar menjadi “domba”. Ia akan menjadi “singa” si raja rimba.
Bagi Sandi, konsisten atau istikomah dengan suara hati nuraninya berarti pula konsisten menolak kembali duduk di kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta, bila nanti ia benar-benar kalah bersama Prabowo dalam Pilpres 2019.
Namun bila tergoda untuk kembali menjadi wagub, maka dipastikan akan banyak cibiran, dan dengan itu maka Sandi tak akan diperhitungkan lagi sebagai calon pemimpin masa depan. Itulah!
Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.