Oleh: Mohammad Saihu *)
"In civilized life, law floats in a sea of ethics"
Earl Warren, Ketua MA USA (1953-1969)
TRIBUNNEWS.COM - Awalnya etika dipahami sebagai urusan pribadi (private) dan lebih banyak dimaknai dalam ajaran keagamaan. Sifatnya yang dipahami sebagai urusan pribadi mengakibatkan etika lepas dari dimensi-dimensi lain (hukum, ekonomi, politik dan budaya).
Sementara dalam menata relasi dan interaksi antar manusia, hukum positif berlaku untuk menyelesaikan pelbagai persoalan dan penegakan keadilan.
Berlakulah istilah sanksi pemenjaraan.
Masalahnya, hipotesa bahwa penghukuman penjara efektif memberangus kejahatan justru banyak melahirkan kriminalitas baru dan penjara pun menjelma menjadi school of criminal (sekolah kejahatan) karena prinsip penghukumannya berorientasi pembalasan (retributive justice).
Di Indonesia, penjara berubah nama Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dengan orientasi pemulihan (restorative justice).
Masalahnya, hanya nama yang berubah, karena kultur sisa-sisa kepenjaraan masa lalu tetap berlangsung dan justru bertambah pada praktik pemerasan.
Lapas mulai banyak dihuni para pengusaha besar, mantan politisi, dan mantan penguasa yang bergelimang harta.
Akibatnya, aroma “diskriminasi” terjadi antara penghuni Lapas kaya dan miskin. Fasilitas yang over crowded justru menimbulkan black market (pasar gelap) dan terjadilah “jual beli keistimewaan dan kesempatan”.
Karena itu, para ahli hukum menggugah pemikiraan upaya pengembangan teori-teori yang berkenaan dengan sistem etik dan sistem hukum yang saling beriringan.
Adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie (Ketua DKPP, 2012 – 2017) dalam bukunya, “Peradilan Etik dan Etika Konstitusi Perspektif Baru Tentang Rule of Law and Rule Of Ethics & Constitutional Law and Constitusional Ethics (2016)”, menawarkan gagasan bahwa, demokrasi yang sehat tidak boleh sekadar bersifat prosedural menurut hukum tetapi harus ditopang oleh ‘the rule of law and the rule of ethics’ secara bersamaan.
“The rule of law” bekerja berdasarkan “code of law”, sedangkan “The rule of ethics” bekerja berdasarkan “code of ethics”, yang penegakannya dilakukan melalui proses peradilan yang independen, imparsial, dan terbuka, yaitu peradilan hukum (court of law) untuk masalah hukum, dan peradilan etik (court of ethics) untuk masalah etika.
Dr. Harjono, S.H., M.Cl (Ketua DKPP, 2017 – 2022) berpandangan, jika pemberlakuan kode etik sudah matang, maka akan tumbuh morality of power. Kode etik tidak akan lagi bertumpu pada kekuasaan.