Pun demikian yang ada di banyak lembaga negara dan semua partai politik, serta kebanyakan organisasi kemasyrakatan (Ormas) telah mempunyai sistem kode etik yang diberlakukan secara internal dan disertai dengan pengaturan mengenai lembaga-lembaga penegaknya.
Di lingkungan Pengawai Negeri sudah ada Kode Etik Pegawai Republik Indonesia dan mekanisme penegakannya.
Di lingkungan Komisi Nasional Hak asasi Manusia (Komnasham) juga sudah diatur adanya Kode Etika Komisioner dan mekanisme penegakannya. Di organisasi PERADI (Persatuan Advokat Indonesia) juga sudah diatur adanya Kode Etika dan Majelis Kehormatan Advokat.
Namun demikian, semua lembaga penegak kode etik tersebut, oleh banyak ahli hukum dinilai masih bersifat proforma atau sebagai pantas-pantasan, basa-basi atau sekadar mengikuti trend (KBBI), bahkan sebagian di antaranya belum pernah menjalankan tugasnya dengan efektif dalam rangka menegakkan kode etik yang dimaksud.
Salah satu sebabnya ialah bahwa lembaga-lembaga penegak kode etik tidak semuanya memiliki kedudukan yang independen, sehingga kinerjanya tidak efektif.
Kemodernan Peradilan DKPP
Sejarah DKPP bermula dari telah berdirinya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) pada tahun 2008 berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
DK KPU adalah institusi etik, bersifat ad hoc, dan bertugas menyelesaikan persoalan pelanggaran kode etik bagi penyelenggara pemilu di tingkat provinsi dengan fungsi memanggil, memeriksa, dan menyidangkan hingga memberikan rekomendasi (hanya) kepada KPU.
Untuk pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU Kabupaten/Kota dibentuk DK-KPU Provinsi. Sedangkan untuk pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota Bawaslu dibentuk DK Bawaslu.
DKPP hadir sebagai lembaga peradilan etik yang menerapkan prinsip-prinsip peradilan yang lazim di dunia modern, termasuk mengenai independensi dan imparsialitasnya.
Hanya beberapa tahun, DK KPU memberikan teroboson dengan memberhentikan beberapa penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik. Di antara 2 (dua) putusan DK KPU menjadi trending topics,
“Tahun 2009, 5 anggota KPU Sumatera Selatan diberhentikan karena konfilk kepentingan yang menghambat kinerja KPU” dan “Tahun 2010, Anggota KPU Andi Nurpati dipecat karena menjadi Pengurus Partai Demokrat”.
Kinerja DK KPU pun mengundang simpati publik. Alhasil pemerintah dan DPR memandang penting untuk meningkatkan kapasitas wewenang, tugas, dan fungsi lembaga kode etik di bidang kepemiluan ini.
Selain itu, komposisi keanggotaan DK KPU yang dominan dengan unsur penyelenggara pun dinilai perlu ditata ulang. Pada 12 Juni 2012 DK KPU secara resmi berubah DKPP melalui produk hukum UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemiluhan umum.