Tantangan lainnya, adalah adopsi teknologi yang begitu cepat berpotensi membuat anak-anak yang memasuki sekolah dasar pada tahun 2018 akan bekerja dalam pekerjaan yang belum ada saat ini.
Ismail mencontohkan, India memiliki hampir 4 juta pengembang aplikasi.
Uganda memiliki lebih dari 400 ribu petani organic besertifikasi internasional, dan China memiliki 100 ribu validator data (data labeler).
Jenis pekerjaan ini tidak dikenal sepuluh tahun sebelumnya, dan saat ini telah menjadi competitive advantage negara-negara tersebut.
Ini membuktikan automasi kerja merupakan tuntutan zaman yang bisa tidak bisa harus diterima.
Melawan automasi pasti terkena hukum disrupsi. Tukang ojek pangkalan awal-awal penggunaan aplikasi untuk jasa ojek berbaku pukul dengan driver ojek berbasis aplikasi.
Bahkan Budiarti, dosen senior Pendidikan Sejarah yang juga pendiri Prodi Usaha Jasa Pariwisata UNJ mengungkapkan dalam diskusi tersebut, menurutnya saat ini masih banyak guru SMK yang belum bisa mengimbangi perkembangan teknologi.
"Misalnya di sekolah yang berbasis IT, ada guru yang tak mau tahu perkembangan teknologi. Seharusnya, gurunya memperbaiki pengetahuannya. Apalagi Akuntansi, sekarang kan bisa memanfaatkan aplikasi tapi mereka tetap ingin cara manual," kata Budiarti.
Penambahan TKA yang cepat, berkorelasi langsung dengan rendahnya tingkat pendidikan, dan kualitas lulusan angkatan kerja Indonesia.
"Pentingnya peningkatan kualitas angkatan kerja itu merupakan tantangan yang kini dihadapi oleh Pemerintah. Apalagi, lima tahun ke depan kita fokus mengembangkan kualitas sumber daya manusia," kata Ismail.
Ismail menyebut tantangan tersebut tampak dari data Kementerian Ketenagakerjaan tahun 2018.
Sebanyak 58,8 persen Tenaga Kerja Indonesia adalah tamatan Sekolah Menengah Pertama ke bawah.
Mayoritas pendidikan TKI tersebut menunjukkan kualitas para TKI masih rendah.
Fakta ini mengundang pertanyaan bagaimana para TKI tersebut bisa menghadapi era automasi?