Ketiga, De Telegraaf edisi 22 November 1918 yang memuat berita berjudul “De Spaansche Griep op Java” (Flu Spanyol di Jawa).
Masih dari media yang sama, tanggal 5 Februari 1919, menurunkan berita berjudul “De Spaansche Griep op Java de Officieele Sterftecijfers” (Angka kematian resmi flu Spanyol di Jawa). Keempat, De Sumatra Post edisi 11 Desember 1920, menurunkan tulisan berjudul “Influenza”.
Doni Monardo lantas menegaskan, “Kalau ada yang mengatakan Covid ini adalah yang pertama terjadi di muka bumi, saya berani mengatakan, itu salah!”
Pernyataan Doni diperkuat literatur “Yang Terlupakan: Pandemi 1918 di Hindia Belanda”, yang ditulis sejarawan pandemi Tb Arie Rukmantara dan tim pada 2009.
Buku menunjukkan fakta sejarah pandemi adalah peristiwa berulang yang sudah tercatat sejak tahun 1700. Dalam 100 tahun terakhir, interval antarpandemi flu berkisar antara 10 dan 50 tahun sekali.
Kejadian masa lampau seperti yang digambarkan tadi, jauh lebih mematikan, serta merenggut nyawa lebih besar. Tak kurang dari 13,3 persen dari populasi penduduk ketika itu, meninggal karena wabah yang dinamakan Flu Spanyol.
Jumlah penduduk Hindia Belanda tahun-tahun itu, sekitar 35 juta jiwa. Dari jumlah itu, 13,3 persen meninggal karena Flu Spanyol. Itu artinya, lebih dari 4,6 juta nyawa melayang. “Karena itu saya berani mengatakan, kondisi waktu itu jauh lebih buruk,” tandas Doni.
Tak lupa Doni berpesan kepada jajarannya, “Kita yang bekerja di bidang penanganan covid harus mengetahui tentang peristiwa di masa lalu. Kita harus berani mengatakan Covid-19 ibarat malaikat pencabut nyawa. Zaman dulu saja pernah merenggut jutaan manusia, bukan tidak mungkin Covid-19 juga merenggut nyawa yang tidak sedikit, jika tidak ditangani secara serius. Jika kita semua tidak menyikapinya secara sungguh-sungguh.”
Ciri-ciri Sama
Merujuk sumber otentik serta manuskrip tua berusia 102 tahun, tersebutlah adanya kemiripan ciri antara Flu Spanyol (Spaansche Griep) dan Covid-19.
Menanggapi epidemi itu, Prof Dr dr P Ruitinga, profesor kedokteran Universitas Kota, ketika itu mengatakan penyebabnya tidak benar-benar diketahui. Masyarakat di pedesaan, seperti di Tana Toraja, hanya dapat mengingat bahwa penyakit tersebut disebarkan “lewat angin”.
Tetapi wabah ini diyakini ditularkan dari orang ke orang melalui kontak. Istilah "kontak" ini kemudian harus ditafsirkan dalam arti yang lebih luas, yaitu penyakit ini ditularkan tidak hanya dengan sentuhan, tetapi juga melalui interaksi timbal balik, misalnya ketika berbicara dengan seseorang.
Droplet (cairan ludah/saliva) yang dikeluarkan saat berbicara dapat menularkan infeksi kepada mereka yang berbicara dengannya. Ada tanda-tanda orang sehat juga bisa menularkan penyakit (OTG).
Dokumen menyebutkan pula tentang cara-cara pemerintah kolonial mengatasi “pageblug” tersebut. Antara lain dengan menerapkan pola sosialisasi menggunakan kearifan lokal melalui bahasa yang mudah dipahami masyarakat.