OLEH : SYAMSUDDIN RADJAB, Direktur Eksekutif Jenggala Center, Pengajar Politik Hukum Pascasarjana Universitas Pancasila Jakarta dan UIN Alauddin Makassar
SEPERTI biasa, setiap jelang 30 September ramai-ramai membincangkan PKI karena diduga terlibat dalam aksi pembunuhan para jenderal petinggi AD.
Peristiwa itu sendiri menjadi titik balik petaka bagi kaum kiri di Indonesia dan durjana kemanusiaan dalam sejarah bangsa dan dunia.
Tercatat sekitar dua juta orang kehilangan nyawa akibat peristiwa tersebut. Data lainnya disebut satu juta, lima ratus ribu, dua ratus ribu, dan lain-lain.
Peristiwa sesudahnya, lebih mengerikan lagi. Tidak dibunuh tapi hak-hak perdatanya dipenggal dan dicap dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politiknya.
Jumlahnya tentu lebih banyak karena menyentuh hingga anak turunan eks PKI atau di tuduh PKI. Penggalan sejarah kelam bangsa tersebut harus dilihat dalam konteks politik global dan intrik politik internal perebutan pengaruh dalam kekuasaan politik.
Baca: Hentikan Gatot Nurmantyo yang Tengah Pidato, Ini Alasan Polda Jatim Bubarkan Acara KAMI
Baca: AKBP Iwan, Sosok Polisi yang Hentikan Pidato Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo di Acara KAMI
Selain itu, akan menjadi bias dan ahistoris apalagi dengan melibatkan sentimen agama. Peristiwa itu pula lah yang mengantarkan Soeharto menjadi penguasa tunggal baru mengganti Soekarno yang oleh sebagian pengamat menyebutnya sebagai kudeta merangkak (Creeping Coup d’Etat).
Cornel Paper (1971), Benedict Anderson dan Ruth McVey mengemukakan secara apik dalam laporannya, peristiwa tersebut merupakan puncak perseteruan internal Angkatan Darat dalam menilai kepemimpinan Soekarno, pengaruh PKI dan sejumlah kekhwatiran masa depan Indonesia.
Dalam kacamata lain, era tahun 1960-an merupakan perang dingin (cold war) antara Amerika Serikat versus Uni Soviet dengan sekutu masing-masing.
Posisi Indonesia sendiri dipandang lebih cenderung ke kelompok kiri dengan menilai hubungan Soekarno dengan PKI yang semakin karib serta keterlibatan dokter asal Tiongkok yang merawat Soekarno dan keterlibatan Soviet dalam pembangunan Jakarta seperti pembangunan stadion GBK, hotel Indonesia, patung selamat datang yang berdiri kokoh di Bundaran HI dan Tugu Tani di Menteng.
Kedekatan dan partisipasi itu oleh AS dipandang memberi ruang lebar kepada pesaingnya sehinga perlu dilakukan operasi intelijen melalui CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) untuk mencari sekutu baru dengan beberapa opsi diantaranya menjatuhkan Soekarno dan menghancurkan kekuatan PKI.
Di kemudian hari, operasi ini berhasil dan AS mengadopsi pola operasi ini di negara lain seperti Chile tahun 1973 dengan memberi sandi “Djakarta Operation”.
Tujuan operasi menggulingkan pemerintahan sah dan demokratis Presiden Salvador Allende yang berhaluan kiri melalui kudeta yang dilakukan militer dibawah komando Jenderal Agusto Pinochet.
Pinochet sendiri setelah ditendang dari kekuasaan bernasib buronan sepanjang hidupnya dan meninggal tanpa kehormatan sebagai pelanggar HAM berat. Sama dengan Soeharto, meninggal dengan status pelanggar HAM berat dan sebagai tersangka.