Tujuan pertama adalah menggali gua-gua di kawasan Sumatera Barat, khususnya di sekitar Payakumbuh.
Obsesinya itu berdasarkan pengetahuan awalnya gua-gua banyak menghasilkan fosil-fosil sisa manusia purba seperti di Eropa.
Ternyata penelitiannya itu tidak menunjukkan prospek sangat menggembirakan karena hanya menemukan tulang-tulang subresen, termasuk sisa-sisa osteologis dan odontologis orang utan.
Boleh jadi, aktifitas itu, walau masih jauh dari harapannya, dapat disebut sebagai awal penelitian paleoprimatologis di Indonesia.
Salah satu gua itu adalah Lida Ajer, yang menghasilkan temuan gigi yang tidak pernah diduga sebelumnya.
Baru belakangan ini koleksi itu mendapatkan perhatian kembali untuk diteliti ulang, baik morfologis maupun pertanggalan in situ oleh beberapa ahli Indonesia, Belanda dan Australia.
Ternyata yang mengejutkan koleksi itu ada yang berupa sebuah gigi Homo sapiens. Ternyata kejutan itu masih berlanjut, yakni kedua gigi itu berasal dari masa 73.000 – 63.000 tahun yang lalu.
Berita gembira yang ditunggu Eugène Dubois datang juga. CPh Sluiter dari Koninklijke Natuurkundige Vereniging in Nederlandsch-Indië (Perhimpunan Ilmu Alam Kerajaan Hindia Belanda) mengabarkan penemuan sebuah subfosil manusia di wilayah pertambangan marmer di kawasan Wajak, Campurdarat, Tulungagung, Jawa Timur.
Subfosil itu telah ditemukan seorang ahli geologi Belanda BD van Rietschoten yang bekerja di sana pada 24 Oktober 1888 seperti yang tertulis dalam suratnya yang bertanggal 31 Oktober 1888 kepada CPh Sluiter.
Surat itu telah dibacakan dalam pertemuan Koninklijke Natuurkundige Vereniging in Nederlandsch-Indië pada 13 Desember 1888.
Surat itu juga menjelaskan tentang tengkorak yang ditemukan tatkala sedang melakukan penambangan marmer rutin di kawasan Wajak tersebut.
Pada 21 Desember 1888, CPh Sluiter menulis surat kepada Eugène Dubois yang masih melakukan penyelidikan di Sumatera Barat atas temuan tersebut.
Surat tersebut juga menjelaskan kondisi temuan itu yang sangat menyedihkan karena hanya berupa kepingan-kepingan tengkorak.
Dalam pertemuan Koninklijke Natuurkundige Vereniging in Nederlandsch-Indië berkutnya pada 11 April 1889, CPh Sluiter membacakan reaksi Eugène Dubois atas kondisi tersebut.