News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tentang Dikotomi Pesantren Modern dan Salaf, Pesantren Butuh Model Ketiga

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KH. Imam Jazuli

Di luar pengajaran itu, para kiai menggembleng santri-santrinya dengan pendidikan kemasyarakatan. Khususnya bagaimana menghadapi penjajahan Belanda, Jepang, Inggris dan juga ajaran ketauhidan masyarakat. Juga terkait dengan gerakan PKI dan kelompok-kelompok kejahatan di masyarakat.

Gelombang kemodernan umat Islam di dunia, baik di Mesir, Marokko, India, dan lain-lain mempengaruhi juga perubahan di dalam negeri, termasuk dalam pendidikan Islam. Maka mulailah berdiri lembaga pendidikan Islam yang juga berasrama, tapi buku ajar dan sistem pengajarannya berbeda dengan pesantren salaf.

Pengajarannya menggunakan bahasa Arab, bahasa Inggris, atau Belanda, seperti yang terjadi di Mesir atau yang lain. Pembelajarannya pun dilakukan di kelas. Pengalaman ini mulai diterapkan di Nusantara oleh orang-orang Indonesia yang telah selesai belajar dari luar negeri dan oleh para pejuang dari luar negeri yang masuk ke Indonesia.

Misalnya di Padang terdapat Mahmud Yunus. Beliau termasuk tokoh pendidikan Islam modern di zaman penjajahan. Pada 1931, Mahmud Yunus pulang ke Padang setelah belajar di Mesir 10 tahun. Mulailah beliau mendirikan Madras School lalu pada 1932, beliau juga Normal Islam School dan memimpin Sekolah Tinggi Islam (STI) Padang.

Demikian juga sekolah yang dirintis oleh KH. Ahmad Dahlan di Jogja dan juga Mambaul Ulum di Solo, dan lain-lain. Hanya saja, ketika berbicara pesantren modern, maka induknya selalu diarahkan pada Pondok Modern Gontor, yang mulai dirintis sejak tahun 1926 oleh tiga bersaudara yang disebut Trimurti, yaitu Kiai Sahal, Kiai Zainudin Fanani, dan Kiai Imam Zarkasyi.

Sebutan modern sendiri datang dari masyarakat karena melihat perbedaan yang mencolok, terutama sejak tahun 1937, yang berarti setelah 10 tahun-an beroperasi. Masyarakat memang menyaksikan bahwa Gontor berbeda dengan pesantren lain. Saat itu, untuk menyebut sesuatu yang berbeda, kata “modern” sangat pas.

Santri Gontor menggunakan celana, berjas, berdasi ketika masuk sekolah. Guru-guru juga demikian. Sarung dipakai di kegiatan shalat saja. Seluruh aktivitas santri dikendalikan oleh manajemen pesantren. Buku pelajaran 99% berbeda dengan pesantren salaf. Cara mengajarnya pun berbeda. Gontor menggunakan tiga bahasa, yaitu Arab, Inggris, dan Indonesia. Dikotomi ilmu umum dan ilmu agama dihilangkan.

Seiring dengan perubahan zaman, sejak Tahun 1980-an, generasi muslim Indonesia menghadirkan banyak pesantren model ketiga. Pesantren ini cirinya menggabungkan salaf, modern, dan juga mengakomodasi agenda-agenda pendidikan nasional, baik itu Kementerian Agama maupun Kementerian Pendidikan.

Pesantren model ketiga ini umumnya memiliki sekolah formal. Ada tingkatan tsanawiyah, aliyah, sampai perguruan tinggi. Ada juga yang membuka SMP, SMA, SMK, lalu sekolah tinggi. Hadir juga di model ketiga ini pesantren dalam bentuk boarding school yang berangkat dari inisiatif kaum kota untuk mengakomodasi kebutuhan umat Islam di segmen tertentu.

Ketika membaca Bina Insan Mulia dari fase perkembangan pesantren, maka pesantren Bina Insan Mulia masuk dalam fase perkembangan ketiga. Tetapi ada hal yang berbeda yang ingin saya jelaskan di sini. Terutama terkait dengan apa yang menjadi diferensiasi khusus Bina Insan Mulia dibanding pesantren salaf, modern, atau pesantren model ketiga yang ada.

Mempertahankan Esensi Salaf

Pesantren Bina Insan Mulia sangat berkomitmen untuk mempertahankan esensi pesantren salaf. Karena itu, Pesantren Bina Insan Mulia juga salaf, bahkan untuk hal-hal tertentu lebih salaf dari pesantren yang menyebut dirinya salaf hari ini.

Apa esensi pesantren salaf? Pesantren salaf setidaknya memiliki empat esensi dalam perjuangan pendidikannya.

Pertama, ghirah dan strategi politik. Dari sejak zaman Wali Songo, pesantren salaf atau pendidikan Islam telah menjadi kawah condrodimuko para pemimpin masyarakat. Tidak sedikit dari para pemimpin itu yang menjadi tokoh sentral dalam kekuasaan politik.

Dengan kekuasaan politik di tangan maka langkah para tokoh tersebut dalam menjalankan berbagai agenda dakwah sangat mulus. Agenda dakwah pun benar-benar dapat memberikan solusi riil masyarakat ke tingkat yang lebih luas.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini