Bisa kita bayangkan, bagaimana rumitnya berdakwah kala itu. Ada penjajah asing di negeri kita, yaitu Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Sementara, di dalam negeri sendiri kekuasaan kerajaan lokal telah lama menancapkan doktrin Hindu-Budha. Meski demikian rumit, para Wali Songo mampu menembus jantung peradaban masyarakat dengan ilmu dan kekuasaan.
Berdakwah dengan ceramah saja memang bagus, tapi lebih powerful lagi apabila mendapatkan back-up kekuasaan politik. Sang penguasa bisa mendirikan sekolah, menggerakkan petani, membangun jembatan, memberikan beasiswa, menempatkan orang-orang yang pro perjuangan, dan seterusnya.
Dengan ilmu dan kekuasaan yang dimiliki, Sunan Gunung Jati, beliau sanggup melakukan perubahan revolusioner atas Cirebon, Banten, dan Sunda Kelapa (Jawa Barat dan Jakarta). Dakwahnya pun menembus seluruh layanan yang dibutuhkan masyarakat.
Pada masa Sunan Gunung Jati, Cirebon mengalami kemajuan di bidang politik, keagamaan dan perdagangan. Selain itu, ada juga pelabuhan yang dulunya sebagai pusat perdagangan. Pelabuhan merupakan peninggalan Syekh Syarif Hidayatullah yang pernah menjadi bagian dari jalur sutra perdagangan dunia internasional.
Di masa pemerintahan Sunan Gunung Jati juga penyebaran Islam dilakukan ke Banten tahun 1525-1526 melalui penempatan salah seorang putra Syekh Syarif Hidayatullah bernama Maulana Hasanuddin. Dari Maulana Hasanudin inilah lahir Kesultanan Banten yang pernah mencapai puncak kemajuan di masa Tirtayasa.
Pertanyaannya, apa hubungan Syarif Hidayatullah dan pesantren salaf atau pendidikan Islam model salaf? Syarif Hidayatullah adalah santri dari Syaikh Nurjati. Beliau adalah perintis dakwah Islam di wilayah Cirebon yang sebelumya.
Tokoh kemerdekaan yang juga berasal dari alumnus pesantren salaf adalah Wahid Hasyim, yang merupakan Pahlawan Nasional. Setelah balik dari Makkah, KH. Wahid Hasyim langsung masuk ke kancah perpolitikan melalui Nahdlatul Ulama’. Dari pintu NU inilah KH. Wahid Hasyim berkiprah di berbagai gerakan kemerdekaan dan meninggalkan jasa yang sangat penting bagi Indonesia.
Selain terlibat dalam gerakan politik, tahun 1944 ia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir. Inisiatif inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya IAIN atau UIN di Indonesia.
Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara, pendidikan, politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang sangat strategis. Rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai pengganti dari "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" tidak terlepas dari peran seorang Wahid Hasjim.
Kiprah Wahid Hasyim ini kemudian diteruskan oleh putranya, yaitu Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid. Dari sejak kecil, Gus Dur adalah santri dari beberapa pesantren salaf di Jawa. Antara lain pernah mondok di Krapyak, di Tegal Rejo, di Tambak Beras lalu keliling sebentar-sebentar ke berbagai pesantren, seperti ayahandanya.
Gus Dur kemudian terpilih sebagai ketua PBNU dan sebagai Presiden Republik Indonesia. Tentu dengan kekuasaan yang dimiliki, ada banyak kepentingan umat dan kepentingan bangsa yang bisa diselesaikan oleh Gus Dur.
Hari ini, dengan terbukanya keran politik baru setelah reformasi, sebetulnya sudah luar biasa jumlah alumni pesantren salaf yang masuk ke lingkaran politik dan menjadi tokoh central. Mulai dari bupati, gubernur, bahkan menteri. Sahabat saya misalnya TGB Zainul Majdi yang pernah menjabat Gubernur NTB selama dua periode.
Namun untuk menghadapi berbagai problem umat dan bangsa Indonesia saat ini, kita membutuhkan sebanyak mungkin kader-kader pesantren yang mampu merebut kekuasaan politik. Kenapa? Dari kekuasaan politik inilah dakwah tidak saja hanya lancar, tetapi juga powerful, dan lebih mampu memberikan jawaban atas persoalan strategis bangsa.
Tentu Bina Insan Mulia sebagai pesantren yang ingin mengaktualisasikan esensi salaf tak mau ketinggalan. Sampai hari ini Pesantren Bina Insan Mulia terus membangun hubungan dengan tokoh-tokoh politik, terus mendorong para kader untuk masuk dalam kancah pertarungan politik, bahkan mendirikan sekolah politik Bina Insan Mulia.
Kedua, puasa. Puasa adalah esensi penting dalam pendidikan pesantren salaf. Tradisi pesantren salaf yang dipertahankan dan dilanjutkan oleh Pesantren Bina Insan Mulia adalah Puasa Dalail. Meski tidak diwajibkan untuk semua santri, tapi hampir semua santri Bina Insan Mulia pernah punya pengalaman menjalankan Puasa Dalail dan Wirid Dalail.
Sudah banyak keterangan mengenai keutamaan Puasa Dalail dengan seluruh disiplin yang terkandung di dalamnya. Salah satunya adalah membuka pintu-pintu kemudahan dalam menghadapi hidup di dunia dan di akhirat.
Bahkan tidak hanya santri. Secara resmi saya mengumumkan ajakan kepada para wali santri dan masyarakat umum untuk menjalankan Puasa Dalail melalui kegiatan Ijazah Kubro Dalailul Khairat. Setiap yang hadir akan mendapatkan risalah sanad, sertifikat ijazah kubro, kitab Dalailul Khoirat, dan tentu saja semua gratis.