Berbeda dengan lebaran di Indonesia, lebaran di China, usai sholat Idul Fitri dan bersalam-salaman, langsung kembali pulang dan tidak ada aktifitas saling berkunjung.
Tapi jika Idul Adha, mereka merayakan dengan lebih meriah. Makan-makan di kerabat, teman dan sanak saudara, bahkan mudik di kampung halaman mereka.
Muslim China dengan total sekitar 40 juta penganut, mayoritas beretnis Hui dan Uighur.
Yang berasal dari Provinsi Otonomi Khusus Hui Ningxia, Gansu, Qinghai dan Otonomi Khusus Xinjiang, empat wilayah yang sebagian besar penduduknya beragama islam. Semua daerah tersebut terletak di barat laut China. Mereka banyak menyebar di kota-kota atau daerah China lainnya untuk merantau.
Peran Negara
Di empat daerah tersebut, jika Idul Adha, dijadikan libur lokal sekitar tiga hari.
Perlakuan dan peraturan istimewa khusus untuk mayoritas daerah yang beragama islam.
Walaupun di China sendiri, klasifikasi dan representasi populasi tidak berdasar agama, akan tetapi berdasar etnis, salah satunya tercermin dari salah satu urutan kolom identitas di KTP mereka selain nama, alamat dan kelahiran.
Dengan penduduk lebih dari 1.4 milyar orang dan 91 persen adalah suku Han.
Baca juga: Cerita Warga Palestina Lindungi Al-Aqsa, Minta Bantuan Pakai Speaker Masjid dan Khawatir Kena Granat
Pemerintah China mengeluarkan kebijakan Affirmative Action atau Youhui Zhengce dengan tiga prinsip yakni kesetaraan bagi suku minoritas, daerah otonomi, dan Kesetaraan bagi semua bahasa dan budaya.
Salah satu contoh kebijakan ini adalah one child policy -yang berakhir pada 2015 lalu-, yang tidak berlaku bagi 55 suku minoritas. Termasuk etnis Ughur dan Hui yang masuk lima besar etnis di China.
Kebijakan pemerintah setempat juga berlaku dalam hal kebebasan dalam menjalani agama dan saling menghormati antar pemeluk dan non pemeluk agama. Konstitusi Tiongkok di Pasal 36, yang berbunyi 'Warga negara Tiongkok mempunyai hak kebebasan beragama. Negara, kelompok masyarakat dan individu, tidak boleh memaksa warga negara untuk menganut agama, atau tidak menganut agama.
Tidak boleh mendiskriminasi warga yang beragama atau tak beragama. Negara melindungi aktivitas keagamaan yang normal.
Siapa pun tidak boleh melakukan kegiatan yang merusak ketertiban sosial, merugikan kesehatan warga negara, merintangi sistem pendidikan negara dengan menggunakan agama. Kelompok keagamaan, dan urusan keagamaan tidak boleh dikontrol kekuatan dari luar negeri'.