News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Di Tengah Konflik AS -Tiongkok, Indonesia Jangan Hanya Sekedar Mendayung di Antara 'Dua Karang'

Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Klaus H Raditio

Oleh : Klaus H Raditio *)

AKHIR  bulan Juni 2022 para pemimpin G7 berkomitmen untuk menggelontorkan dana sebesar 600 miliar dollar AS untuk proyek infrastruktur global dalam skema bertajuk “Kemitraan untuk Infrastruktur dan Investasi Global”. 

Presiden Biden mengatakan bahwa inisiatif ini dimaksudkan untuk memberikan “manfaat konkret dari kemitraan dengan negara-negara demokrasi”.

Lebih lanjut dia juga mengatakan bahwa jika negara-negara kampiun demokrasi dapat melakukan apa yang bisa mereka tawarkan maka mereka akan mengalahkan otokrasi.

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menekankan fungsi alternatif dari inisiatif ini sehingga negara-negara berkembang memiliki pilihan untuk menarik investasi dan mengembangkan infrasturktur.

Sekalipun “China” tidak disebut dalam pernyataan mereka, tidak dapat dipungkiri bahwa insiatif ini bermaksud untuk menyaingi Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) yang dinisiasi Beijing pada tahun 2013.

Baca juga: Efek Poros Maritim Indonesia Tiongkok Terhadap Stabilitas Kawasan

Pertanyaannya, apakah ini sebuah pengakuan implisit Barat bahwa strategi RRT lebih unggul dalam melebarkan pengaruh globalnya?

Ungkapan Presiden Biden yang mengatakan bahwa inisiatif G7 ini bermaksud memberikan “manfaat konkret” seolah mengakui bahwa bantuan yang diberikan Barat selama ini tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat di negara-negara miskin dan berkembang.

Pernyataan von der Leyen juga seolah-olah menunjukkan pengakuan implisit keberhasilan strategi RRT dalam meningkatkan ekonomi negara-negara mitra melalui pembangunan infrastruktur.

Tulisan ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa inisiatif G7 tersebut memang menunjukkan pergeseran Barat dalam menyusun strategi untuk menguatkan posisi globalnya.

Selain itu tulisan ini juga menunjukkan wawasan global yang harus dianut oleh Indonesia melampaui permainan cantik “mendayung di antara dua karang”.

Inisiatif G7 dan Kegagalan Neoliberalisme

Dari segi teknologi, Kemitraan untuk Infrastuktur dan Investasi Global ini memang diperlukan. Negara-negara Barat memiliki teknologi yang lebih mumpuni terutama dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Inisiatif G7 ini memang memiliki prioritas di segi energi bersih, sistem kesehatan, kesetaraan jender, dan teknologi informasi dan komunikasi. Salah satu kritikan dari Barat dan negara-negara berkembang terhadap BRI adalah bahwa proyek-proyek tersebut tidak ramah lingkungan.

Data dari MERICS (Institut Penelitian tentang RRT yang berkedudukan di Jerman) tahun 2019 menyebutkan bahwa dua per tiga anggaran untuk proyek BRI dialokasikan di sektor energi dan mayoritas dari proyek-proyek itu masih mengandalkan energi fosil.

Daripada hanya melemparkan kritik, nampaknya lebih baik Barat memang harus mulai bertindak secara konkret jika memang memiliki keprihatinan terhadap lingkungan hidup.

Negara-negara berkembang akan tetap menjalin kerjasama dengan RRT selama Barat tidak menawarkan alternatif apapun.

Dari segi ekonomi, pantas diragukan apakah inisiatif G7 ini bisa menyaingi bahkan mengalahkan BRI yang sudah dimulai satu dekade sebelumnya.

Pertama, dari sudut pandang politik domestik, Presiden Biden dalam konteks pertemuan G7 sudah pernah mengumumkan inisiatif serupa setahun lalu, yaitu “Build Back Better World”, namun kandas dalam pembahasan di Kongres.

“Kemitraan untuk Infrastruktur dan Investment Global” pada dasarnya adalah kemasan baru dari “Build Back Better World” yang nasibnya masih perlu dicermati apakah akan berakhir juga seperti pendahulunya. Kedua, secara nominal BRI telah menghabiskan 800 miliar dollar AS, jumlah yang melampaui jumlah dana yang diumumkan oleh para pemimpin G7. BRI juga telah menjangkau 125 negara dan 29 organisasi internasional di seluruh dunia.

Dari segi politik, inisiatif G7 ini jelas menunjukkan bahwa negara-negara Barat tidak berperan sebagai pemimpin dalam membantu negara-negara berkembang. Alih-alih menjadi pencetus ide dan frontrunner, Barat menjadi reaksioner yang penuh kecemasan.

Baca juga: Gus Halim dan Dubes Tiongkok Tingkatkan Kerjasama bidang Pembangunan dan Pemberdayaan Desa

Inisiatif G7 ini juga menjadi sebuah pengakuan implisit bahwa kemakmuran tidak menjadi keniscayaan dari sistem politik demokrasi seperti yang diimani oleh para penganut neoliberalisme. Alih-alih mewujudkan pembangunan ekonomi yang efektif, pasar bebas dan peran minimal pemerintah malah menciptakan jurang pendapatan masyarakat yang semakin lebar.

Resep ekonomi neoliberal yang menjadi andalan institusi multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia selama beberapa dekade nampaknya tidak memberikan manfaat konkret sebesar BRI yang baru berjalan selama kurang dari satu dekade. 

Godaan Otorianisme

Apakah ini berarti bahwa sistem otoritarianisme pantas dilirik? Tidak dapat dipungkiri bahwa efektivitas sistem politik RRT – dalam mengentaskan kemiskinan dan menciptakan banyak metropolitan kelas dunia – menarik simpati negara-negara berkembang. '

Di berbagai negara terdapat kecenderungan untuk memilih pemimpin yang kuat dengan intervensi pemerintah yang besar.

Di Filipina, misalnya rakyat memilih Bong-bong Marcos, anak diktator untuk menjadi pemimpin dibandingkan dengan Leni Robredo, politisi berlatar belakang hukum dan HAM. Di Turki, kekuatan Erdogan semakin terkonsolidasi karena ketegasannya dalam memerintah. 

Di Mesir, Abdul Fattah al-Sisi yang membuktikan diri sebagai pemimpin militer yang kuat mendapatkan dukungan rakyat sejak tahun 2013. Presiden Jokowi sendiri dalam pemilu tahun 2014 juga mendapatkan simpati dari rakyat karena membuktikan ketegasannya dalam memimpin Surakarta dan DKI Jakarta dibandingkan pendahulunya yang terkesan peragu. Rakyat di berbagai belahan dunia sepertinya menunjukkan harapan akan peran pemerintah yang lebih besar dalam menyelesaikan banyak masalah, alih-alih menyerahkannya kepada mekanisme pasar.

Baca juga: Terima Dubes RRT, Wapres Harap Tiongkok Buka Akses Pasar Lebih Luas Untuk Produk UMKM Indonesia

Survei yang dilakukan oleh Arab Barometer Network pada akhir 2021 dan awal 2022 menunjukkan bahwa rakyat di 10 negara Arab (termasuk otoritas Palestina) menunjukkan bahwa ekonomi memburuk di bawah rezim demokrasi. Sebagian besar rakyat tersebut juga menginginkan pemimpin yang kuat.

“Musim Semi Arab” yang sempat diharapkan memberi angin segar demokrasi dan menyejahterakan rakyat nampaknya kandas. Rakyat di negara-negara Arab sepakat demokrasi tidak ada hubungannya dengan pembangunan ekonomi.

Bagaimanapun juga, kebutuhan akan pemerintahan yang kuat tersebut tidak melegitimasi otoritarianisme sebagai sistem yang pantas dilirik.

Pemerintah yang tegas tidak sama dengan pemerintah yang otoriter. Persoalan pembangunan ekonomi jauh melampaui debat sistem demokrasi versus otoritarianisme.

Pembangunan ekonomi dapat dicapai bukan oleh tipe rejim, tetapi lebih kepada political will yang berorientasi kepada pembangunan.

Adrian Leftwich (University of York) mengatakan bahwa yang dibutuhkan bukan terutama negara demokratis tetapi negara pembangunan (developmental state). Ini berarti bahwa negara yang berorientasi kepada pembangunan dengan political will yang memberikan manfaat konkret kepada masyarakat dalam jangka panjang.

Model negara pembangunan dapat diterapkan dalam sistem politik demokrasi atau otokrasi. Tentu saja di jalan demokratisasi yang telah diambil Indonesia, kita hanya perlu menegaskan unsur pembangunan dalam pemerintahan, bukan mengubah sistem politik. Kebebasan terlalu berharga untuk dikorbankan demi pembangunan ekonomi.

Dibalik Perdebatan Demokrasi dan Otoritarianisme

Konsensus Washington yang memiliki warna neoliberal dan demokratis kini diperlawankan dengan konsensus Beijing yang memberikan peran sentral kepada negara dalam sistem politik yang non-demokratis.

Konsensus Washington selalu mensyaratkan demokratisasi dan penegakan HAM oleh negara penerima bantuan. Selain itu, konsensus ini juga mengarah kepada integrasi ke dalam pasar bebas, deregulasi dan pengurangan peran pemerintah.

Pihak pemberi bantuan adalah institusi multilateral seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Sebaliknya Konsensus Beijing menghindari sikap atau perilaku yang dapat dipersepsikan sebagai intervensi urusan domestik, dan bersifat bilateral antar pemerintah.

Beijing tidak menuntut perubahan sistem politik atau perbaikan kondisi HAM, namun ada permohonan tersirat bahwa negara penerima bantuan mendukung posisi Beijing di dunia internasional atau paling tidak, menghindari diri dari perilaku yang dapat dianggap sebagai ancaman terhadap kepentingan inti Beijing.

Baca juga: Menlu AS Khawatirkan Harmonisnya Hubungan Beijing dengan Moskow di Tengah Konflik Ukraina

Negara-negara berkembang melihat persaingan kekuatan-kekuatan dunia sebagai persaingan ideologis / model pembangunan karena ekonomi memang menjadi fokus mereka. Sedangkan negara-negara adi daya melihat persaingan di antara mereka sebagai rebutan pengaruh dan dominasi regional maupun global.

Pandangan yang mengatakan bahwa akar dari persaingan AS dan RRT misalnya adalah sistem pemerintahan mereka yang berbeda – nampaknya tidak sepenuhnya benar.

AS adalah sekutu Arab Saudi dan Bahrain yang otokrasi. AS pun tidak melakukan tindakan signifikan apapun terhadap kudeta militer yang memberangus demokrasi di Mesir tahun 2013 dan Thailand tahun 2014.

Sejak awal Bank Dunia dan IMF juga tidak serius atau konsisten dalam mempromosikan baik pemerintahan yang baik ataupun demokrasi. Bukan ideologi ataupun sistem pemerintahan yang menjadi dasar dari aliansi atau rivalitas yang terutama adalah kepentingan. AS memiliki kepentingan di Timur Tengah untuk mengendalikan sumber daya energi.

Oleh sebab itu Paman Sam menempatkan pasukannya di Saudi Arabia dan Bahrain. AS memiliki kepentingan untuk mengendalikan Mesir sebagai kakak sulung di antara negara-negara Arab. AS memiliki kepentingan untuk memasok logistik di Afghanistan dan Iraq, maka Thailand menjadi lokasi strategis untuk tujuan tersebut. Kepentingan membutakan mata AS terhadap sistem pemerintahan ataupun ideologi negara-negara mitra/sekutu, sekalipun hal tersebut berarti mencekik demokrasi.

AS dan China: Beberapa Kepentingan yang Berkonflik

Sejak berdirinya RRT tahun 1949, ada paling tidak 3 periode yang menjadi tonggak sejarah yang menggambarkan bagaimana AS memandang RRT. Pertama adalah tahun 1970-an, atau yang dikenal sebagai periode rapprochement.

Periode ini ditandai antara lain dengan Resolusi 2758 tanggal 25 Oktober 1971yang mengembalikan posisi RRT di PBB sebagai representasi dari negara dan rakyat Tiongkok, yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah Taipei.

Kurang dari setahun kemudian, pada Februari 1972 Presiden Nixon mengunjungi Beijing. Dan puncak dari periode 1970-an ini adalah pembangunan hubungan diplomatik di awal tahun 1979. Bersahabatnya AS dan RRT ini terjadi di tengah hubungan yang memburuk antara RRT dan Uni Soviet. AS melihat bahwa RRT adalah negara yang dapat dirangkul dalam melawan musuh utama yang lebih membahayakan.

Kedua adalah periode awal 2000-an, yang diawali dengan masuknya RRT ke dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dengan dukungan AS pada akhir tahun 2001.

Di periode kedua ini, RRT menunjukkan gairahnya yang besar terhadap institusi multilateral baik di tingkat global maupun regional.

Di tingkat regional, RRT bergabung dengan ASEAN Treaty of Amity and Cooperation tahun 2003 yang disalah satu klausul pentingnya adalah menghindari penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan masalah dan mengedepankan diplomasi.

AS di bawah Presiden Clinton menunjukkan juga sikap terbuka dan mendukung terhadap bergabungnya RRT ke dalam sistem internasional. Pada masa itu di Washington terdapat pemikiran kuat yang mendukung inkorporasi RRT dalam rejim internasional dengan harapan dan keyakinan bahwa hal tersebut akan membuat RRT lebih terintegrasi dalam pasar global, lebih patuh terhadap norma-norma internasional dan ujung-ujungnya akan memeluk sistem politik yang demokratis.

Periode ketiga adalah pasca krisis ekonomi global 2008 hingga sekarang. Pasca 2008, AS memandang RRT lebih membangkang. Bahasa yang sering digunakan untuk menggambarkan sikap ini adalah “assertive”. RRT nampak lebih percaya diri dengan kemampuannya mengatasi krisis global bahkan memberikan bantuan kepada negara-negara di Asia Tenggara.

Sejak saat itu di Beijing semakin populer semboyan “Barat melorot, Timur melesat” (西降东升).

Baca juga: Bertemu Dubes Tiongkok, Daniel Johan Dorong Tingkatkan Kerjasama Bilateral Indonesia-Tiongkok

Perilaku RRT di kawasan, misalnya di Laut Tiongkok Selatan dan Laut Tiongkok Timur dipandang semakin meresahkan. Kekhawatiran Washington terhadap kebangkitan RRT semakin besar.

Berdasarkan hal di atas, dapat dilihat bahwa AS tidak selalu memandang RRT sebagai saingan atau musuh. Sekalipun sistem politik RRT tidak pernah berubah. Dalam arti tertentu AS berperan besar dalam membesarkan RRT.

Hal ini yang dilihat oleh pakar politik internasional seperti John Mersheimer dan Aaron L. Friedberg sebagai kesalahan strategis Washington.

Washington tidak menganggap Beijing sebagai saingan dan musuh ketika RRT masih lemah.

Selain itu Washington juga memiliki kepentingan untuk menembus pasar Tiongkok yang besar dan menjanjikan. Karena itu dapat dipahami strategi AS yang bersahabat di awal tahun 2000-an.

Namun pasca 2008, hubungan keduanya bergeser dari pertemanan menjadi persaingan. Kedua belah pihak memiliki andil dalam persaingan ini.

Ada beberapa konflik kepentingan yang tidak bisa didamaikan antara AS dan RRT. Pertama ialah nilai-nilai sosial politik. Sekalipun RRT telah memeluk ekonomi pasar, namun kontrol negara/partai sangat kuat.

RRT juga dengan terbuka menolak sistem demokrasi liberal Barat. Beijing percaya bahwa mereka harus mengembangkan sistem politik yang sesuai dengan kondisi masyarakat Tiongkok.

Sedangkan Barat, pada kondisi normal, selalu berusaha mengekspor demokrasi liberal.

Yang dimaksud kondisi normal adalah ketika AS tidak memiliki kepentingan lain yang lebih mendesak. Jika ada kepentingan lain yang mendesak, maka demokratisasi tidak menjadi agenda utama, hal ini terjadi misalnya di Arab Saudi, Bahrain, Mesir dan Thailand.

Kedua ialah dominasi politik. RRT menjadi rival Barat karena pertama-tama RRT memiliki nilai yang berbeda dan juga berkembang menjadi sangat kuat. Ini menjelaskan mengapa rivalitas AS – RRT terjadi terutama pasca 2008.

Kekuatan suatu negara berkaitan dengan ambisi untuk dominasi regional maupun global. Seperti pendapat Michael Beckley (Tufts University), tatanan dunia dibentuk berdasarkan ekslusi kepada negara yang dipandang sebagai rival. Tatanan politik masa Perang Dingin terbentuk karena ketakutan di antara AS dan Uni Soviet.

Dan tatanan politik masa kini terbentuk atas dasar ketakutan di antara AS dan RRT. Ketakutan inilah yang mendasari sikap pengucilan AS terhadap RRT. AS mengkhawatirkan intensi RRT dalam membangun kekuatan militer, teknologi, ekonomi dan politik. AS mengkhawatirkan intensi dari BRI yang berpotensi menggerus dominasinya.

Sebaliknya RRT mengkhawatirkan AS yang melakukan manuver-manuver menyudutkan RRT melalui kebijakan “Pivot to Asia”, “Indo-Pacific” dan kerjasama pertahanan QUAD serta AUKUS. RRT meyakini bahwa AS ingin melanggengkan dominasinya dan tidak pernah rela melihat RRT maju tanpa demokrasi liberal.

Indonesia harus bagaimana? 

Terhadap AS dan RRT kita harus semakin peka dengan cara kerja mereka.

Kita harus memilih berkerja sama terhadap tawaran yang memberikan solusi jangka panjang, seperti transfer teknologi, infrastruktur dan pendidikan/pengembangan SDM.

Baik BRI maupun Inisiatif Kemitraan G7 harus kita manfaatkan sebesar-besarnya. Kedua pihak adidaya ini memiliki potensi untuk kerjasama yang menguntungkan kepentingan strategis kita.

Kita harus peka untuk tidak tergiur dengan resep neoliberalisme, ataupun menjadi otokratik.  

Pembangunan dapat terwujud pleh political will yang kuat dan berkesinambungan terlepas dari -isme apapun.

Kita juga harus peka terhadap usaha-usaha membuat kita segan, terbeban dalam menuruti kepentingan nasional negara mitra baik di forum regional maupun internasional. 

Pelajaran yang dapat dipetik dari persaingan AS dan RRT adalah kita harus terbebas dari persaingan ideologis ataupun perdebatan sistem politik.

Kita berkomitmen untuk mandiri, demokratis dan berkembang melalui kerja sama dengan semua pihak.

Lebih dari itu, Indonesia harus berpikir melampaui bermain cantik “mendayung di antara dua karang”. 

Kita tidak boleh puas dengan sekedar menjadi negara yang diperebutkan oleh negara-negara adidaya.

Kita tidak boleh berpuas diri dengan meraup manfaat dari kerjasama dengan negara-negara adidaya yang saling bersaing.

Indonesia dan negara-negara kekuatan menengah lainnya harus menjadi penentu tatanan dunia yang baru. Peran sebagai juru damai – seperti yang dijalankan oleh pemerintah dalam misi perdamaian ke Kyiv dan Moscow – sangat penting dalam mewujudkan tatanan dunia yang inklusif dan dialogis.

Hal ini dapat terwujud jika ada political will ke arah sana ditopang oleh pembangunan nasional yang komprehensif dan berkesinambungan. Negara masa depan itu bukan hanya persoalan menjadi makmur – lebih dari itu, ia juga harus terlibat dalam membangun tatanan dunia baru yang lebih manusiawi.

*) Peneliti Independen, Jakarta, Indonesia

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini