News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Revisi UU Migas Demi Wujudkan Produksi Minyak 1 Juta Barel Per Hari

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Hafif Assaf, Government Affairs Professional dan Pemerhati Kebijakan Publik.

Kilas balik

Tatkala hendak menulis terkait topik ini, tiba-tiba penulis teringat salah satu artikel yang dipublikasikan The Economist pada 6 Mei 2017. Ketika itu, The Economist mempublikasikan artikel berjudul 'The world’s most valuable resource is no longer oil, but data'.

Artikel itu sama sekali tidak keliru karena didasari oleh riset dan analisis yang solid. Kendati demikian, hingga saat ini, harus diakui kalau minyak masih menjadi salah satu komoditas utama dalam percaturan perekonomian di dunia, tidak terkecuali di Indonesia.

Bicara soal minyak, terdapat sebuah UU yang masih menjadi acuan bagi seluruh pemangku kepentingan di tanah air yaitu UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Peraturan itu merupakan pengganti UU Nomor 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 15 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, dan UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Migas Negara yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan usaha pertambangan migas.

UU itu menjadi landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan atas penyelenggaraan pengusahaan migas di Indonesia.

Asas dan tujuan UU tersebut pun mulia, yaitu agar penyelenggaraan kegiatan usaha migas berjalan efisien, menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional serta meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional.

Namun, sebuah peristiwa monumental terjadi pada 13 November 2012. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian gugatan sejumlah tokoh terhadap UU Migas. Dalam putusan bernomor 36/PUU-X/2012, Ketua MK Mahfud MD menyatakan kalau keberadaan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas bertentangan dengan semangat UUD 1945.

Setelah itu, pemerintah membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Migas. SKK Migas mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu migas berdasarkan kontrak kerja sama (KKS).

Namun, setelah 9 tahun berlalu, situasi yang dihadapi oleh SKK Migas menurut hemat penulis perlu dicarikan jalan keluar. SKK Migas menghadapi begitu banyak tantangan dalam mewujudkan tata kelola industri demi ketahanan energi nasional.

Yang utama adalah status SKK Migas sebagai lembaga sementara. Ini tidak lepas dari posisi SKK Migas yang hanya diatur oleh aturan setingkat peraturan presiden.

Untuk itu, mau tidak mau, dasar hukum kelembagaan permanen SKK Migas harus diatur kembali di dalam aturan setingkat UU. Sejatinya pada tahun 2019, sudah mengemuka di berbagai media keinginan DPR mengatur SKK Migas dalam revisi UU Migas.

Salah satu wujudnya adalah Badan Usaha Khusus Migas di mana lembaga itu melakukan kegiatan usaha hulu migas dengan modal dan kekayaan dimiliki oleh negara. Pemerintah pada saat itu, menyampaikan bahwa SKK Migas akan dapat memiliki participating interest atas aset-aset hulu migas di Indonesia, walaupun hanya sebatas sebagai mitra.

Oleh karena itu, penulis menilai pemerintah dan DPR harus bersama-sama berkomitmen menjadikan SKK Migas sebagai lembaga dengan dasar hukum setingkat UU, bukan hanya lembaga sementara.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini