TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Mobilisasi besar-besaran yang dilakukan Israel ke perbatasan Jalur Gaza saat ini memberi gambaran ada tujuan besar yang ingin dicapai rezim zionis.
Tujuan yang lebih dari sekadar membalas serangan mematikan Hamas. Militer Israel menegaskan perang melawan Hamas akan berlangsung lama.
Indikator lain, pemerintah Israel telah menyarankan masyarakat sipil Jalur Gaza untuk memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mengevakuasi diri ke lokasi aman.
Jalur Rafah, koridor satu-satunya Jalur Gaza ke wilayah Mesir masih terbuka. Ini opsi penyelamatan paling rasional yang masih bisa dilakukan rakyat Palestina di Jalur Gaza.
Selama bertahun-tahun, Jalur Gaza adalah enclave Palestina yang dikepung dari segala jurusan. Akses udara, laut praktis tertutup dengan dunia luar.
Banyak yang menyebut Jalur Gaza adalah penjara terbesar di dunia yang dikontrol pemerintah zionis Israel.
Dengan penduduk sekira dua juta jiwa, Jalur Gaza adalah wilayah paling padat di dunia berisi kamp-kamp pengungsi Palestina.
Ekonominya tergantung ke Israel dan bantuan negara-negara serta pendonor internasional. Listrik, air, BBM, bahan pokok pangan juga tergantung akses dari Israel.
Sekarang, Israel telah menghentikan semua akses itu. Sepanjang perbatasan Jalur Gaza ke wilayah Israel telah dibanjiri mesin-mesin tempur dan ratusan tentara siap tempur.
Operasi darat ke Jalur Gaza diperkirakan akan terjadi dalam beberapa hari atau pekan mendatang, tergantung kesiapan logistik dan ketersediaan amunisi untuk pertempuran.
Israel juga masih menunggu datangnya bantuan senjata dari AS, termasuk menunggu kedatangan armada tempur laut yang dipimpin kapal induk USS Gerard Ford.
Fakta lain, kelompok Hamas diperkirakan kehilangan 1.500 petempurnya yang dikerahkan saat serangan massal 7 Oktober 2023.
Ribuan petempur itu bagian orang-orang paling terampil berperang. Hamas juga telah meluncurkan lebih dari 5.000 roket Qassam.
Stok roket mereka pastinya tidak mungkin tidak terbatas. Selain itu bombardemen udara Israel ke Jalur Gaza telah meratakan pusat komunikasi dan gedung-gedung Hamas.
Sejumlah terowongan bawah tanah penghubung Jalur Gaza ke wilayah Mesir juga dihancurkan secara bersamaan.
Ini baru permulaan. Bagian paling merisaukan adalah ketika serangan darat Israel digelar, didukung dari udara dan laut, maka kejatuhan Jalur Gaza tinggal menunggu waktu.
Israel kehilangan lebih dari 1.000 nyawa penduduknya, termasuk warga negara AS yang turut terbunuh saat serangan 7 Oktober 2023.
Ini kerugian nyawa paling besar diderita Israel dalam satu peristiwa sesudah holocaust. Jauh lebih dahsyat dan memalukan dibanding serangan apapun sebelunya.
Kemarahan elite Israel sudah sampai ubun-ubun, dan mereka tidak akan berpikir menggunakan cara-cara diplomasi untuk menyelesaikan urusan dengan Hamas.
Oleh sebab itu, hari ini mustahil mencegah Israel membatalkan rencana besarnya untuk menggempur Jalur Gaza dan memusnahkan kelompok Hamas.
Mustahil pula mengajak Israel ke meja perundingan dengan Hamas dan siapapun, guna mencegah pertumpahan darah lebih dahsyat di tanah Palestina.
Israel sudah tidak bisa terhentikan dilihat dari narasi-narasi yang disampaikan elite politik, militer, juga masyarakat Israel.
Target Israel saat ini adalah memusnahkan kelompok Hamas dari Jalur Gaza dengan cara apapun dan pengorbanan apapun tanpa batas akan dilakukan.
Bahkan kalangan politik garis keras Israel telah menyerukan penggunaan senjata pemusnah massal atau doomsday weapons ke Jalur Gaza.
Pasukan Israel siap bertempur dari kampung ke kampung, gedung ke gedung, pintu ke pintu. Selanjutnya, Israel akan mencapai tujuan menguasai Jalur Gaza sepenuhnya.
Apakah Hamas masih mampu melawan operasi militer habis-habisan Israel kali ini? Akan tergantung kelancaran pasokan dana dan logistik dari luar.
Uni Emirat Arab sejauh ini masih jadi penyandang dana terbesar untuk kehidupan di Jalur Gaza. Sementara UEA telah memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
UEA juga berkawan dekat dengan Washington. Posisi dan sikap UEA pada konflik kali ini akan tergantung bagaimana diplomasi segitiga antar Israel, AS, dan Israel dijalankan.
Iran, yang dianggap pemasok teknlogi dan senjata ke Hamas dan Hezbollah Lebanon, tidak akan mudah bergerak dan tidak lagi mudah mengakses Jalur Gaza.
Begitu juga Korea Utara, yang disebut diam-diam memasok roket atau rudal dan persenjataan lain ke Jalur Gaza.
Rusia, masih konsentrasi ke Ukraina dan tidak mungkin secara terbuka membela Hamas. Begitu pula Suriah, yang masih menderita akibat peperangan di negerinya.
Arab Saudi diperkirakan akan bersikap menahan diri, mengingat ketegangan hubungannya dengan AS dan hubungannya yang masih belum pulih dengan Iran.
PBB? Organisasi internasional ini faktanya tidak punya gigi ketika berhadapan dengan aneka pelanggaran hukum internasional oleh Israel yang didukung AS dan Eropa.
Liga Arab? Sama mandulnya. Apalagi di antara negara-negara Arab sendiri sulit rukun karena kepentingan masing-masing.
Alhasil, kita mungkin akan melihat jatuhnya Jalur Gaza, kemusnahan Hamas dari wilayah Palestina dan semakin dominannya zionis Israel.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)