News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Polemik UKT di Perguruan Tinggi Negeri

Ironi Uang Kuliah Semakin Mahal, PTN Makin Sulit Diakses Masyarakat Menengah Bawah

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) melakukan aksi protes atas kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di depan Biro Rektor USU, Medan, Rabu (8/5/2024). Dalam aksinya, mahasiswa menolak kenaikan UKT hingga 50 persen. Foto: Tribun Medan/Danil Siregar

Pemerintah diberi mandat konstitusional untuk mencerdaskan bangsa. Ironi bahwa akhir akhir ini muncul pembicaraan mengenai kemungkinan subsidi beasiswa dari negara dialihkan untuk program makan gratis?

Saat ini dana pendidikan untuk mendukung program magister atau doktor terbatas.

Dari 35 ribuan orang yang mendaftar ikut program Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tahun 2024, sekitar 14 ribuan lolos test scholastic dan bisa ikut interview, untuk mengambil 4000 orang yang beasiswa-nya akan dibiayai pemerintah di berbagai perguruan tinggi dalam dan luar negeri.

Industrialisasi Membentuk SDM

Kisruh biaya saat menjadi mahasiswa akan melahirkan kerepotan baru jika sudah selesai kuliah dan akan memasuki

dunia kerja. Kuliah mahal, setelah tamat malah menganggur. Menurut Kemenaker, di periode Januari-Maret 2024 sudah ada 2.650 pekerja yang terkena PHK di Jawa Barat.

Sedangkan daerah tertinggi yang paling banyak merumahkan pegawainya ada di DKI Jakarta, yakni 8.876 pekerja. Lalu disusul Jawa Tengah sebanyak 8.648 orang.

Angka pengangguran tinggi menunjukkan bahwa tidak ada korelasi positip antara pendidikan tinggi dengan dunia kerja.

Link and match ke dunia industri terputus, karena prioritas pada SDA tidak diorientasikan ke industrialisasi dan pendidikan. Industri kita memang belum berkembang, tidak efisien dan berbiaya tinggi.

Ketua Umum Apindo mengatakan terlalu banyak cost mulai dari labor cost, energy cost, logistic cost.

Indonesia masih asyik dengan isu isu hilirisasi, karena ekspor produk atau komoditas primer hasil hutan, tambang dan mineral sebagai sumber pendapatan dan perolehan devisa yang signifikan.

Masalahnya, pendapatan ekspor dari SDA tidak digunakan memacu pertumbuhan industri. Transformasi ekonomi ke industri berjalan lambat.

Pendapatan dari sumber daya alam (SDA) dipakai bayar hutang dan program sosial antara lain bansos, berbagai subsidi atau dana kompensasi energi. Lihat saja, ketika surplus neraca perdagangan, justru kurs rupiah terus terdepresiasi.

Ketergantungan pada produk primer hanya akan menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan, membahayakan kelangsungan perekonomian dalam jangka panjang.

Baca juga: Biaya UKT Tinggi, Pemerintah Diminta Kontrol Biaya Kuliah

Yang untung hanya segelintir orang, penduduk di sekitar tambang pendapatannya malah rendah. Transisi industri gagal menyebabkan tidak ada panggilan kebutuhan untuk peningkatan SDM. Pendidikan, termasuk riset terpinggirkan.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini