Netanyahu dan jaringan pembunuhnya menurut Erdogan, mencoba memperluas cengkeraman mereka pada kekuasaan dengan membantai orang-orang Palestina karena gagal mengalahkan perlawanan Palestina.
Pemimpin Turki tersebut mengklaim Israel telah menunjukkan dirinya sebagai negara teror dengan menyerang kamp pengungsi Palestina.
Tapi Erdogan sejauh ini ya hanya berhenti di retorika belaka. Turki masih menikmati transaksi ekonomi yang besar dengan Israel.
Rusia dan Vladimir Putin, berada di situasi agak sulit karena beban perangnya di Ukraina, tapi masih bisa menunjukkan solidaritas kuatnya ke Palestina.
Rusia menjadi kekuatan pemegang hak veto di PBB, yang bersama China menjadi pendukung kuat upaya menaikkan status Palestina sebagai anggota tetap PBB ketimbang jadi peninjau.
Menaikkan status Palestina ini merupakan jalan terbaik untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan bagi Palestina sebagai sebuah negara.
Resolusi ini ditentang AS, Israel, dan segelintir negara kecil anggota PBB yang sejak lama bisa diatur oleh mereka.
Absurditas juga ditunjukkan elite Uni Eropa. Kepala Urusan Diplomatik Uni Eropa, Joseph Borrel menyatakan Eropa harus memilih di jalan sulit.
Pilihannya ada dua, mendukung eksistensi lembaga internasional seperti PBB dan ICC, atau menyokong Israel.
Situasi ini benar-benar memecah belah dunia Eropa. Spanyol, Norwegia, dan Irlandia telah menyatakan dukungannya Palestina sebagai negara.
Tapi ambiguitas juga sekaligus ditunjukkan Uni Eropa. Di satu sisi mengakui hak Israel membela diri menyusul peristiwa 7 Oktober 2023, tapi juga mengecam kekejian yang dilakukan Israel sesudahnya.
Hingga hari ini, faktanya, ada lebih banyak kata-kata ketimbang aksi nyata dilakukan oleh banyak negara dan kekuatan utama di dunia untuk menghentikan kekejaman Israel.
Kematian warga Palestina terjadi hampir di tiap saat, karena tak satupun instrumen hukum internasional mampu mencegah keberingasan mereka.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)