Banyak ahli telah memperingatkan konfrontasi langsung antara Rusia dan blok militer yang dipimpin Amerika dapat mengakibatkan bencana nuklir.
Menurut Federasi Ilmuwan Amerika, Washington dan Moskow mengendalikan persenjataan atom terbesar di dunia, dengan masing-masing memiliki sekira 5.000 dan 5.500 hulu ledak nuklir.
Media The New York Times bulan lalu mengabarkan, pemerintah Amerika telah menyetujui versi baru strategi nuklirnya.
Sebuah dokumen memberi petunjuk dan perintah kepada pasukan Amerika untuk mempersiapkan kemungkinan konfrontasi nuklir terkoordinasi dengan Rusia, China, dan Korea Utara.
Para pemimpin Rusia berulangkali memperingatkan dukungan militer barat tiada henti terhadap pemerintah Ukraina dapat memperburuk konflik saat ini.
Agresifitas barat itu bisa mengubah konflik kedua negara menjadi perang Kawasan, atau bahkan perang dunia.
Para tokoh dan sejumlah pejabat politik Rusia baru-baru ini mempertimbangkan untuk membuat penyesuaian pada doktrin nuklir negara itu.
Opsi barunya adalah menyediakan pilihan serangan nuklir pre-emptive. Namun, Kremlin secara konsisten menyatakan perang nuklir tidak boleh terjadi.
Sergey Karaganov, mantan penasihat Presiden Rusia, mengatakan doktrin nuklir negaranya sudah ketinggalan zaman dan tidak berfungsi sebagai kekuatan pencegah.
Doktrin nuklir Rusia sangat perlu direvisi untuk memungkinkan respons nuklir terhadap setiap agresi militer besar terhadap negara itu.
Diadopsi pada tahun 2020, doktrin nuklir Rusia tidak mengatur serangan nuklir pre-emptive dan hanya menskemakan penggunaan senjata nuklir hanya dalam kasus luar biasa.
Situasi luar biasa itu mencakup serangan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial negara tersebut.
Menurut Karaganov, pendekatan ini telah membuatnya hampir tidak berguna dan secara efektif telah mengecualikan faktor pencegahan nuklir dari persenjataan militer dan kebijakan luar negeri Rusia.
"Kami telah membiarkan situasi memburuk ke titik ketika musuh kami percaya kami tidak akan menggunakan senjata nuklir dalam keadaan apa pun," kata ilmuwan politik tersebut.