TAHUN 2024 menjadi penanda suram masa reformasi yang dicita-citakan bangsa Indonesia sejak 1998.
Harapan yang digantungkan pada reformasi seakan memudar, seiring dengan kembalinya praktik-praktik lama yang menjerumuskan negara pada jalan kelam.
Apa yang dulu diperjuangkan dengan pengorbanan besar—demokrasi, kebebasan, dan pemerintahan bersih—sekarang terasa jauh dari jangkauan.
Reformasi, yang lahir sebagai upaya mengembalikan demokrasi ke tangan rakyat, tampak berada di ambang kehancuran.
Cita-cita Reformasi
Reformasi 1998 adalah upaya kolektif untuk membongkar warisan feodal yang merugikan bangsa, seperti korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), serta dwifungsi ABRI.
Demokrasi perwakilan yang ditegakkan selama Orde Baru, yang sebenarnya hanya melanggengkan kekuasaan elite politik, digantikan oleh demokrasi langsung yang memungkinkan rakyat memilih pemimpinnya.
Baca juga: Nawawi Pomolango Sebut KPK Bayi Reformasi, Bukan Anak Kandung Pemerintahan Megawati
Banyak hal dicapai pada masa reformasi: penghapusan dwifungsi ABRI, pemilihan langsung presiden dan kepala daerah, otonomi daerah, dan pembentukan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semua itu terwujud melalui perjuangan berat yang memakan banyak korban, termasuk tragedi 1998.
Namun, apa yang terlihat hari ini adalah kebalikan dari cita-cita reformasi.
KKN kembali merajarela dari lapisan bawah hingga ke puncak birokrasi. TNI dan Polri perlahan-lahan dimanfaatkan lagi sebagai alat kekuasaan, meski fakta ini kerap dibantah.
Negara menajamkan taringnya terhadap rakyat, dengan alat-alat negara yang digunakan untuk menekan lawan politik. Kritik dan perlawanan formal semakin sulit terakomodasi.
Reformasi Memperbaiki Orla dan Orba
Mari kita tilik sejarah masa lalu. Orde Lama (Orla) berlangsung dari 1945 hingga 1966, dipimpin oleh Soekarno yang menjadi tokoh kemerdekaan bangsa. Keunggulan utama dari masa ini adalah semangat kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi, namun dibarengi dengan permasalahan ekonomi yang parah serta ketidakstabilan politik.
Orla jatuh karena kegagalan ekonomi, inflasi yang tidak terkendali, dan pemberontakan PKI yang menjadi puncak krisis.
Orde Baru (Orba) yang berlangsung dari 1966 hingga 1998, di bawah kepemimpinan Soeharto, menjanjikan stabilitas dan pembangunan ekonomi.
Pada awalnya, Orba memberikan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Namun, kejatuhan Orde Baru disebabkan oleh maraknya KKN, kekuasaan absolut, serta pembungkaman kebebasan berpendapat.
Baca juga: Menggagas Kudatuli Sebagai Hari Besar Reformasi
Reformasi 1998 adalah puncak dari kebencian terhadap pemerintahan otoriter yang menjajah suara rakyat.
Orla menonjolkan idealisme kebangsaan, namun gagal mempertahankan stabilitas ekonomi dan politik.
Orba memberi stabilitas dan pembangunan, tapi mengorbankan kebebasan dan akuntabilitas pemerintahan.
Reformasi adalah jawaban perbaikan kedua orde sebelumnya dengan membawa kebebasan dan demokrasi, tetapi di ujungnya, sistem politik kembali dirusak oleh praktik-praktik KKN dan otoritarianisme yang terselubung.
Reformasi Rasa Orba
Seperti halnya di masa Orba, saat ini kekuasaan disusun dengan pola berbagi kekuasaan antar elite politik.
Prinsip "Asal Bapak Senang" mulai mengaburkan pandangan rakyat yang tidak paham dengan dinamika politik.
Mereka yang kritis dan vokal terhadap pemerintah, diredam suaranya, dipinggirkan, dan karakternya dibunuh perlahan. Padahal mereka adalah segelintir dari tokoh yang benar-benar peduli pada nasib bangsa tanpa agenda tersembunyi.
Sayangnya, ingatan tentang masa kelam Orba mulai pudar di benak generasi muda, khususnya Gen Z. Mereka lahir saat reformasi mulai menancapkan tonggak-tonggaknya, seperti pemilihan langsung dan pembatasan kekuasaan militer.
Mereka mungkin tidak melihat betapa miripnya situasi saat ini dengan masa akhir Orba, di mana kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir elite, dan rakyat hanya dijadikan alat politik untuk melanggengkan kekuasaan.
Akhir Reformasi?
Jika memang tujuan segelintir elite adalah menciptakan dinasti politik, maka kita sedang bersiap-siap memasuki era baru yang lebih panjang dan lebih menekan dibandingkan Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.
Karena kita akan menunggu setiap generasi penguasa untuk mendominasi pemerintahan, sementara rakyat hanya menjadi penonton dan sapi perah.
Masa depan yang kita songsong ini bukanlah masa depan yang diinginkan para pahlawan reformasi, tetapi kelanjutan dari rezim yang pernah kita lawan, dengan wajah yang sedikit berbeda.
Reformasi yang sejatinya bertujuan mengembalikan demokrasi, kini tengah sekarat. Masa depan bangsa Indonesia ada di tangan rakyat, dan satu-satunya harapan adalah membangkitkan kembali semangat reformasi agar tidak terkubur oleh praktik-praktik feodal yang kembali bangkit.