Oleh: Eva Nila Sari
Pegawai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
ISTILAH Kabinet Zaken berasal dari Bahasa Belanda yang berarti suatu kabinet yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli, bukan representasi dari partai politik tertentu.
Kabinet ini terbentuk, pada prinsipnya, untuk menghindari terjadinya malafungsi, praktik korupsi, dan memaksimalkan kinerja para Menteri anggota kabinet.
Berdasarkan sejarah, Pemerintahan Indonesia pernah memiliki beberapa model Kabinet Zaken, di antaranya Kabinet Djuanda yang dipimpin Perdana Menteri Duanda Kartawidjaja (1957-1959), Kabinet Natsir yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir (1950-1951), dan Kabinet Wilopo yang dipimpin oleh Perdana Menteri Wilopo (1952-1953).
Sayangnya, pemerintahan model ini hanya terjadi pada era Presiden pertama RI, Sukarno.
Model pemerintahan ini kembali diperbincangkan seiring desakan publik agar kabinet yang akan dibentuk Presiden terpilih Prabowo mengedepankan pertimbangkan profesionalisme dalam penentuan sosok-sosoknya.
Pemerintahan yang terdiri dari figur-figur yang profesional sesungguhnya telah menjadi mainstream di kalangan negara-negara di dunia ketika kapitalisme telah bergeser dari Kapitalisme model Ersatz yang kental dengan korupsi, kolusi dan sistem kroni, menjadi Kapitalisme Non Ersatz.
Bahkan di kawasan Asia, khususnya 4 (empat) negara macan Asia (Korea Selatan, China, Hongkong, dan Singapura), sebagaimana Eropa dan Amerika, tepatnya sejak abad ke-19, kapitalisme telah mampu melepaskan diri dari feodalisme titip jabatan atau dengan kata lain menganut Kapitalisme Non Ersatz.
Kapitalisme tidak lagi memperkaya diri sendiri namun memajukan kapitalisme industri yang fokus pada kemajuan teknologi dan manufaktur melalui inovasi.
Contoh nyata terjadi di Korea Selatan dimana para penguasa industri diberi peluang dan didorong untuk maju.
Para chaebol (al. Konglomerat Bisnis Hyundai Motor, Elektronik LG, Elektronik Samsung, SK), telah mendapatkan bantuan dari Pemerintah Korea Selatan dalam rangka memajukan inovasi dan teknologi.
Pemerintah Korea Selatan bahkan akan menghentikan arus investasi asing yang dinilai akan mengganggu perkembangan industri lokal tersebut.
Pemerintah Korea Selatan merasa cukup leluasa mendorong industri para chaebol ini karena tidak beririsan dengan sektor primer seperti air, listrik, energi, dan real estate yang berhubungan dengan kebutuhan orang banyak.
Kondisi yang berbeda justru terjadi di Indonesia, para chaebol versi Indonesia alias cukong telah mendapatkan ‘arahan’ yang berbeda dari Penguasa (Pemimpin). Sistem kapitalisme model feodal masih mendominasi dan mejadi bagian dari pemerintahan Indonesia hingga hari ini.
Belajar dari Singapura
Singapura adalah negara lain yang menerapkan Sistem Kapitalisme Non Ersatz. Pada 9 Agustus 1965, Singapura akhirnya melepaskan diri dari Malaysia. Saat itu, 70 persen warganya tinggal di kawasan kumuh. Lee Kuan Yew, Pedana Menteri Singapura kala itu, baru menginjak usia 36 tahun.
Ia telah memimpin Singapura sejak tahun 1959 dan berhasil membawa ekonomi negara tersebut meningkat 15 kali lipat sepanjang kepemimpinannya.
Banyak pengamat yang menyatakan Singapura mengalami keajaiban ekonomi. Betapa tidak, angka pengangguran menurun signifikan dari 13,5 persen menjadi 1,7 persen (20 tahun setelah mereka).
Singapura pun melejit dari third world country menjadi first world country dalam waktu 40 tahun.
Ternyata negara kecil, dimana kemiskinan merajalela dimana-mana, banyak warga yang tidak memiliki rumah, tanpa SDM yang mumpuni, bisa tumbuh berkembang menjadi negara super power.
Pada konteks Singapura, kepemimpinan memegang kunci penting. Saat ini FDI (Foreign Direct Investment) Singapura atas GDP (Gross Domestic Product)-nya mencapai 29,8%.
Sementara Vietnam di angka 4,4% Indonesia hanya 1,9% saja kendati telah memperoleh kemerdekaan lebih dahulu dari Singapura.
Bagi negara-negara berkembang, FDI memainkan peranan penting, terutama karena terbatasnya uang beredar, sementara kebutuhan dana sangat besar untuk mendorong pergerakan roda perekonomian (investasi, biaya memajukan SDM, mendorong inovasi dalam teknologi, dst).
Singapura memfokuskan diri menjadi efisien dan mandiri di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew. Upaya sistematis ini ternyata membuahkan hasil dan mengorbitkan Singapura menjadi salah satu keajaiban ekonomi dunia.
Pada tahap pertama, Pemerintah Singapura menerapkan strategi industrialisasi ekspor dengan menarik investor asing untuk mengatur basis manufaktur padat karya di Singapura dalam rangka mengerem pengangguran besar-besaran kala itu.
Selanjutnya, Singapura melakukan restrukturisasi industri dari padat karya menjadi padat modal.
Pada tahap ketiga, setelah terjadi resesi besar-besaran pada pertengahan tahun 1980, Singapura mulai melakukan rekonstruksi di bidang jasa dan membangun fundamental ekonominya melalui sektor jasa.
Tahap keempat yang dimulai sejak akhir 1990-an, Singapura mulai melakukan pembekalan layanan yang berbasis pengetahuan, sektor teknologi tinggi dan ekonomi domestik kewirausahaan.
Kunci lain kesuksesan Singapura adalah pajak yang rendah, sedikit pembatasan modal, dan kebijakan imigrasi yang liberal sehingga menjadikan Singapura sebagai salah satu tempat paling kosmopolitan di Bumi.
Mereka memiliki perdagangan yang sangat bebas, tarif yang sangat rendah dan sangat sedikit hambatan non-tarif.
Terlepas dari menonjolnya ekonomi Singapura akibat mengimplementasikan pemerintahan yang mengedepankan profesionalisme, benang merah dari sistem Kabinet Zaken, Kapitalisme Non Ersatz, dan Sistem Meritokrasi adalah mengelola sebuah negara/ pemerintahan secara profesional dan mengeliminasi peluang-peluang distorsi terutama yang menyebabkan terjadinya korupsi, kolusi dan relasi kekerabatan baik dari kepentingan sesaat partai politik maupun kelompok dan golongan penguasa.
Kapitalisme Buruk (Brutal) di Indonesia
Jargon Indonesia emas 2045 seharusnya cukup menyilaukan namun mengapa belum mampu menarik arus investasi masuk ke Indonesia? Hal ini tak lain karena sistem politik dan hukum di Indonesia belum mampu memberikan rasa aman bagi para investor.
Weak law inforcement cause politics instability. Ketidakpastian semacam ini terbukti menyebabkan asing enggan menanamkan uang di Indonesia.
Alhasil persoalan internal secara signifikan menyebabkan ekonomi Indonesia hanya berjalan di tempat dan cenderung mengalami ketertinggalan terutama dibandingkan Singapura dan Vietnam.
Pada konteks negara-negara tertentu, kapitalisme khususnya Kapitalisme Non Ersatz justru melindungi dan mendorong perkembangan ekonomi suatu negara. Sebut saja Korea Selatan yang pemerintahnya melindungi dan mendorong perkembangan ekonomi para chaebol.
Pada konteks Indonesia, yang terjadi justru kapitalisme ‘brutal’.
Mengapa demikian, buku The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia (1988) yang ditulis oleh Kunio Yoshihara menganggap kapitalisme Indonesia bersifat Ersatz atau pseudo capitalism.
Brutalitas kapitalisme di Indonesia telah menyebabkan kekayaan sumber daya alam tidak menjadi kebahagiaan bagi rakyat, koperasi ditelantarkan, maraknya transaksi-transaksi gelap antara wakil-wakil kapitalis dengan tokoh-tokoh politik nasional yang memastikan negara sebagai komoditi bagi para pemodal.
Gejala ini semakin tak terkendali setelah kekuatan politik dunia mensukseskan liberalisasi demokrasi di Indonesia.
Hampir semua negara dunia ketiga mengeluhkan tentang teknologi dan modal. Hanya kemandirian (inisiatif dan itikad yang kuat) yang menghalangi mereka untuk tidak menjadi ‘budak’ bagi yang lain.
Pekerjaan rumah ini telah diselesaikan dengan baik oleh Singapura, namun tidak demikian dengan Indonesia.
Singapura juga menegaskan sistem Pemerintahan Meritokrasi. Sosok kepemimpinan yang menjadi teladan cukup dominan di negara kecil ini. Mekanisme ini terbukti sukses diberlakukan di Singapura.
Lantas seperti apa kepemimpinan Meritokrasi? Meritokrasi pertama kali diperkenalkan oleh Young (1959) sebagai konsep merit yang mengutamakan IQ dan usaha untuk mencapai suatu posisi. awalnya menunjuk pada sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan.
Kerap dianggap sebagai suatu bentuk sistem masyarakat yang sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin.
Berdasarkan pemaknaannya, meritokrasi merupakan sebuah sistem sosial yang mempengaruhi perkembangan dalam masyarakat berdasarkan kemampuan dan prestasi individu daripada dasar keluarga, kekayaan, atau latar belakang sosial (Kim & Choi, 2017).
Beberapa penelitian memaknai meritokrasi sebagai kondisi yang menghadirkan kesempatan yang sama kepada semua individu dalam masyarakat untuk menduduki suatu posisi atau jabatan di publik (Lipsey, 2014; Martin et al, 2014; Au, 2016).
Kesempatan yang sama ini dilatari oleh kompetensi yang dimiliki oleh individu sehingga yang nantinya menduduki posisi jabatan publik adalah orang-orang yang dianggap terbaik.
Penerapan meritokrasi ini tidak terbatas hanya pada posisi tertentu, tetapi bisa diterapkan dalam konteks seluruh posisi pada suatu pekerjaan atau pelayanan publik.
Dari beragam studi mengenai meritokrasi, terdapat dua hal yang menjadi prasyarat dalam penerapan meritokrasi, yaitu transparansi dan ketidakberpihakan.
Di Indonesia, sistem meritokrasi pernah diterapkan. Perdana Menteri Sutan Sjahrir (1945-1947) dan Agus Salim (1947-1949) sudah menerapkan sistem ini dengan cara memilih menteri-menteri yang kompeten di bidangnya selama masa pemerintahan mereka.
20 Oktober 2024 Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan dilantik.
Pada tanggal 21 Oktober 2024, jajaran kabinet pun akan diumumkan. Banyak dari kita mempunyai harapan besar bahwa momentum ini merupakan bentuk pertanggungjawaban Pemerintah atas kondisi yang dialami oleh negara.
Bukan sekedar seremonial semata dan ajang bagi-bagi kue kekuasaan yang berkedok menjaga stabilitas negara.
Apakah negara ini akan diarahkan pada ritme sebelumnya? Kapitalisme Ersatz dan titip jabatan? atau melangkah maju sebaimana tren dunia saat ini, Kapitalisme Non Ersatz yang melepaskan diri dari titip jabatan dan berorientasi memajukan industri?
Ketua Harian Gerindra, Sufmi Dasco, mengatakan kabinet Prabowo-Gibran akan lebih banyak diisi kalangan profesional ketimbang utusan partai politik (parpol).
Menurutnya, telah dilakukan simulasi al. penambahan Kementerian dalam rangka optimalisasi tugas-tugas kementerian dan memenuhi janji kampanye Asta Cita dan program Aksi pada saat kampanye.
Sejauh ini, berdasarkan pemberitaan yang beredar, 16 nama merupakan wajah lama yang akan mengisi kabinet di bawah kepemimpinan Prabowo. Di antara nama-nama yang muncul di publik antara lain Eric Tohir dan Sri Mulyani. Sisanya, akan diisi oleh pejabat-pejabat di Kementerian dan Lembaga, kalangan pakar, dan ormas keagamaan.
Apabila dilihat dari komposisinya, Prabowo seperti hendak mengakomodir semua kepentingan. Akan tetapi apabila melihat orang-orang yang diundang, Prabowo seperti tidak mau sembarangan mengangkat Menteri dan tetap mengedepankan profesionalitas.
Sebut saja Abdul Mu’ti yang dipanggil ke Kertanegara yang diperkirakan untuk mengisi posisi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah dan Guru Besar Bidang Pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini sejak lama diketahui memperjuangkan sistem Pendidikan yang humanis dan inklusif. Tidak hanya terfokus pada kecerdasan intelektual namun juga pembentukan karakter.
Berdasarkan faktual ini, kita memang masih bisa menyimpulkan bahwa kabinet yang dibentuk Prabowo cukup akomodatif untuk kepentingan partai dan kebutuhan profesionalitas namun juga punya ekses terhadap meningkatkan anggaran operasional negara mengingat semakin besarnya struktur Lembaga dari semula 4 (empat) Menteri Koordinator dan 30 (tiga puluh) Menteri, menjadi 46 (empat puluh enam) Kementerian.
Situasi ini juga mendorong berkembangnya jumlah komisi di DPR RI dari semula 11 (sebelas) menjadi 13 (tiga belas) Komisi.
Jika ditotal dengan lembaga negara lain, maka terdapat 123 kementerian/ lembaga di era Prabowo-Gibran.
Berdasarkan dokumen yang beredar, ada beberapa kementerian baru yang dipecah dari kementerian lama seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Transmigrasi, Kementerian Hukum, Kementerian HAM, Kementerian Pariwisata, Kementerian Ekonomi Kreatif, Kementerian Pekerja Migran Indonesia, dan Badan Gizi Nasional.
Situasi ini saja telah menyimpang dari jargon yang telah sekian lama didengungkan oleh Kementerian PAN dan RB yaitu kaya fungsi miskin struktur. Mari kita lihat dan kritisi bersama arah pemerintahan ini ke depan.