Antar pihak juga dilindungi kebebasan untuk menolak dari paksaan membeli barang tertentu yang dianggap bukan sebagai keputusan bisnis yang menguntungkan.
Sementara larangan pembatasan kebebasan pelaku usaha sebenarnya sudah termuat dalam Pasal 19 UU No. 5/1999.
Seharusnya ketentuan ini dipatuhi oleh seluruh pelaku usaha termasuk prinsipal merek.
Urgensi Penegakan Hukum Persaingan Usaha
UU No. 5/1999 mengusung prinsip persaingan yang sehat dan adil, melarang dengan tegas penindasan pelaku usaha kepada pihak lainnya.
Namun pengimplementasiannya belum optimal, padahal undang-undang ini menjadi payung hukum untuk melindungi para investor dalam persaingan yang setara.
Jika perjanjian tersebut mencegah, membatasi, atau mendistorsi persaingan dalam pembatasan investasi dan pangsa pasar, maka perjanjian seharusnya dapat dibatalkan.
Pada prinsipnya UU No. 5/1999 memberikan perlindungan bagi pelaku usaha sub-kontrak dari prinsipilnya sehingga Lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus melakukan pengawasan yang lebih intensif.
Hal ini dikarenakan pelanggaran dilakukan antara prinsipal yang dominan dengan sub-kontrak yang relatif lebih lemah.
Pengukuran dampak haruslah dilihat dalam Pasar Relevan, hubungan internal market prinsipal dengan sub-kontraknya, bukan market yang lebih luas (broad) dalam industry, karena dalam hubungan keperdataan para dealer sangat bergantung sehingga market switching sulit dilakukan.
Penegakan hukum persaingan usaha semakin menantang, karena posisi bergantung membuat para sub-kontrak tidak berani melaporkan pelanggaran.
Maka, dibutuhkan inisiatif dan kemampuan lembaga otoritas persaingan usaha untuk menginvestigasi dan menemukan pelanggaran, sehingga iklim persaingan usaha sehat dapat terwujud.
Otoritas pengawas persaingan usaha bertanggung jawab atas terwujudnya pasar otomotif yang kompetitif.
Melalui penegakan hukum persaingan usaha di dalam industri otomotif akan diperoleh daya saing yang lebih baik.