Ekonom: Praktik Predatory Pricing Ciptakan Persaingan Bisnis tak Sehat di Ojek Online
Mereka menggunakan predatory promotion dan deep discounting untuk menarik perhatian masyarakat.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM - Ekonom Universitas Indonesia (UI), Harryadin Mahardika memandang telah terjadi predatory pricing atau strategi pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga sangat rendah di industri transportasi online.
Caranya, mereka menggunakan predatory promotion dan deep discounting untuk menarik perhatian masyarakat.
“Predatory promotion di industri transportasi online ini bisa jadi sangat berbahaya karena ditujukan agar mematikan pesaing dan mengarah ke persaingan tidak sehat. Terdapat perbedaan dengan perusahan konvensional yang melakukan promosi dengan menyisihkan profit untuk menjaga loyalitas konsumen. Sedangkan, promosi oleh perusahan transportasi online cenderung membakar modal untuk penguasaan pangsa pasar,” jelas Harryadin dalam keterangannya, Jumat (21/6/2019).
Harryadin menyebut ada beberapa indikasi dan modus praktek predatory pricing yang dilakukan perusahaan transportasi online, antara lain promosi berupa diskon hingga mencapai harga yang tidak wajar, promosi dilakukan dalam jangka waktu lama yang melebihi kelaziman dan terindikasi mematikan pelaku usaha lainnya.
Baca: Yusril Beberkan Alasan Pentingnya Mempidanakan Bambang Widjojanto, Salah Satunya soal Tuduhan
Baca: Andai Akhirnya Sidang MK Putuskan Prabowo-Sandi Kalah dan Jokowi Menang, Begini Sikap Kuasa Hukum 02
Adanya niat yang disampaikan secara publik oleh pelaku usaha/pemilik modal untuk mendominasi pasar, dan harga aktual yang dibayarkan konsumen lebih rendah dibandingkan harga yang diterima pengemudi dan diduga berada di bawah biaya produksi.
Harryadinh berpendapat bahwa hilangnya persaingan akibat monopoli pelaku usaha predator di industri transportasi online akan langsung memperlemah posisi tawar para mitranya dan konsumen.
“Saya memberi contoh di Singapura. Pasca akuisisi Uber oleh Grab, tarif dinaikkan hingga 10-15 persen dari Maret-Juli 2018 dan diprediksi meningkat drastis 20-30 persen hingga 2021. Di saat bersamaan, besaran insentif bagi mitra pengemudi juga ditemukan menurun secara signifikan pasca akuisisi. Temuan ini menyebabkan Grab diberi denda sebesar Rp 140 miliar oleh Competition and Consumer Commission of Singapore (CCCS),” dia menjelaskan.
Untuk itu, Harryadin merekomendasikan pada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk memberikan pengawasan bagi persaingan di industri transportasi perkotaan, terutama transportasi online.
“Khususnya untuk menemukan indikasi-indikasi praktik predatory pricing yang mengarah ke persaingan usaha tidak sehat. KPPU juga perlu mendukung upaya-upaya positif pemerintah untuk menjaga keberlanjutan industri transportasi online,” tutup Harryadin.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.