Respon Serikat Pekerja Rokok Tembakau Soal Wacana Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109
Kementerian Keuangan memperkirakan tahun ini, produksi rokok akan turun antara 2,2 persen sampai 3,3 persen sehingga menjadi 288 miliar batang.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan memberikan kekhawatiran bagi industri hasil tembakau.
Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) mengatakan, revisi PP 109/2012 tidak relevan di tengah ketatnya berbagai regulasi dan industri yang tertekan.
Baca juga: Mengenal Produk Tembakau Alternatif, Tidak Hasilkan Asap, Bagaimana Risikonya?
Ketua Pengurus Daerah FSP RTMM – SPSI Daerah Istimewa Yogyakarta Waljid Budi Lestarianto mengatakan, revisi PP 109/2012 akan membuat kinerja industri hasil tembakau semakin menurun.
"Aturan yang ada ada sekarang saja sudah berat, apalagi kalau kemudian akan direvisi dan kabarnya rencananya akan lebih ketat lagi," kata Waljid dalam keterangannya, Rabu (21/4/2021).
“Kalau ini terus menerus terjadi yang ada industri ini tidak tumbuh gitu," sambungnya.
Kementerian Keuangan memperkirakan tahun ini, produksi rokok akan turun antara 2,2 persen sampai 3,3 persen sehingga menjadi 288 miliar batang.
Baca juga: Keputusan Menkeu Tak Naikkan Cukai SKT Bikin Pelaku Industri Tembakau Bernapas Lega
Penurunan produksi ini dinilai tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif cukai rata-rata 12,5 persen mulai 1 Februari 2021.
Waljid menyebut, jika revisi PP 109/2012 terus dipaksakan, maka sektor IHT bakal semakin terpuruk, dan akan menyebabkan penurunan jumlah pekerja.
Sebelumnya, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) juga meminta pemerintah agar kebijakan industri hasil tembakau lebih mempertimbangkan faktor keberlanjutan usaha serta kesejahteraan para petani.
“Kebijakan pemerintah harus mengedepankan kelangsungan mata pencaharian petani tembakau,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji.
Menurut dia, revisi PP 19/2012 bukan hanya akan menekan industri, melainkan juga petani yang saat ini memasok bahan bakunya.
“Walaupun ranahnya adalah industri yang dihantam, tetapi yang terkena pukulannya adalah petani,” paparnya.