Soal Larangan Ekspor Batu Bara, Pemerintah Harus Konsisten dan Tegas Terapkan DMO
Kebijakan melarang ekspor batu bara selama satu bulan hendaknya disertai dengan penegakkan aturan domestic market obligation (DMO).
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Choirul Arifin
Sebagai reward bagi mereka sekaligus upaya untuk meningkatkan PNBP (penerimaan negara bukan pajak).
"Karena persoalan DMO ini sering berulang, ketika harga batubara tinggi, ke depan semestinya Pemerintah membangun sistem pengelolaan neraca batubara yang lebih komprehensif baik di sisi permintaan maupun di sisi pemasokan, sehingga lebih optimal," ujarnya.
"Misalnya, pengguna batubara membeli dengan cara kontrak jangka panjang secara langsung kepada produsen batubara. Tidak melalui trader. Serta manajemen teknis distribusi-logistik lainnya ditata sedemikian rupa, sehingga tidak terganggu perubahan cuaca," tandas Mulyanto.
Untuk diketahui, pemerintah memutuskan untuk menyetop ekspor batu bara pada 1–31 Januari 2022 guna menjamin ketersediaan komoditas tersebut untuk pembangkit listrik dalam negeri.
Pelarangan ekspor sementara tersebut berlaku untuk perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan operasi produksi, dan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian, serta PKP2B. Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), larangan sementara ekspor batu bara ini dilakukan guna memastikan pasokan komoditas itu untuk pembangkit listrik di dalam negeri benar-benar terjamin.
Mengacu Keputusan Menteri ESDM No.255.K/30/MEM/2020 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri 2021, Pemerintah telah menetapkan aturan penjualan batu bara untuk kepentingan dalam negeri (Domestic Market Obligation/ DMO) pada 2021 ini minimal sebesar 25% dari produksi per produsen dengan harga untuk pembangkit listrik maksimal (HBA) adalah 70 US$/ton.