Harga Minyak Goreng Kembali Mahal Pasokan Langsung Melimpah, Apa Kata YLKI dan Ekonom?
Berbulan-bulan masyarakat kesulitan mendapatkan harga minyak goreng, kini kembali bisa mendapatkannya dengan mudah.
Editor: Hendra Gunawan
"Dan masyarakat menengah bawah akibatnya kesulitan mendapatkan migor murah. Pemerintah seharusnya belajar dari subsidi pada gas melon," ujar Tulus.
Sedangkan, menurut Tulus, YLKI terus mensesak KPPU untuk mengulik adanya dugaan kartel dan oligopoli dalam bisnis minyak goreng, CPO, dan sawit. YLKI juga mendesak pemerintah untuk transparan.
"Sebenarnya DMO 20 persen itu mengalir ke mana, ke industri migor, atau mengalir ke biodiesel. Sebab DMO 20 persen memang tidak akan cukup kalau disedot ke biodiesel. Dalam kondisi seperti skrg, CPO untuk kebutuhan pangan lebih mendesak, daripada untuk energi," imbuh Tulus.
Ditekan Konglomerat?
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan, kebijakan pemerintah terus berubah terkait ketersediaan dan harga minyak goreng.
Seperti diketahui awal tahun ini, pemerintah menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) sawit dari awalnya 20 persen, tidak lama menjadi 30 persen.
Kemudian, ada subsidi minyak goreng curah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), di mana pengawasannya lemah.
Namun paling baru, pemerintah justru melepas harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan, sehingga harganya sesuai keekonomian.
"Nah, ini khawatirnya pemerintah gonta-ganti kebijakan karena tidak kuat berada dalam tekanan konglomerat sawit," ujarnya melalui pesan suara kepada Tribunnews.com, Kamis (17/3/2022).
Lebih lanjut secara teknis, Bhima menjelaskan, kebijakan subsidi minyak goreng curah lewat BPDPKS tidak berdampak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kecuali, ketika alokasi subsidi BPDPKS tidak memadai, maka ada kemungkinan dibutuhkan bantuan mekanisme dari APBN.
Bhima menilai, idealnya memang subsidi minyak goreng ini melalui APBN, sehingga lebih transparan dan pengawasan jauh lebih mudah daripada lewat BPDPKS.
"Misalnya, pengawasan untuk subsidi ini bisa digabungkan dengan data terpadu kesejahteraan sosial, sehingga lebih tepat sasaran siapa penerima subsidinya," katanya.
Sementara, kebijakan subsidi pemerintah dinilai ada kesalahan karena untuk minyak goreng kemasan itu yang membeli belum tentu kelas menengah bawah atau miskin.
Justru, kata Bhima, yang membeli banyak dari kelas menengah atas, apalagi minyak goreng subsidi tersebut dijual melalui minimarket modern.
"Itu kesalahan yang jangan sampai terulang," tutur dia.
Kemudian, dia menilai segala bentuk perubahan kebijakan pemerintah ini belum tentu akan membuat harga minyak goreng lebih terjangkau dan mudah didapat.
Sebab, walau yang disubsidi adalah minyak goreng curah, maka pengawasannya akan sangat susah dari sisi distribusi.
Minyak goreng curah bisa kemungkinan dioplos dengan jelantah dengan tidak ada kemasan maupun barcode-nya, sehingga rentan terjadinya penimbunan.
Selain itu, masyarakat juga pastinya kalau melihat ada gap antara minyak goreng kemasan dengan curah, maka akan turun kelas.
"Tidak menutup kemungkinan mereka akan turun kelas mengkonsumsi minyak goreng curah dan itu bisa mengakibatkan alokasi subsidi BPDPKS tidak mencukupi, akan terjadi kelangkaan juga.
Jadi, ini tidak selesai, harusnya tetap kebijakannya itu adalah DMO, cari rantai distribusi bermasalah yang menimbun untuk tegakan hukumnya, dan dari sisi HET-nya itu juga dipantau," pungkas Bhima. (Seno Tri Sulistiyono/Dennis Destriyawan/Yanuar Riesqi/Kontan/Kompas.com)