Keputusan Larangan Ekspor Minyak Goreng Dinilai Kebijakan Emosional
bila kegiatan ekspor minyak goreng dilarang, maka industri dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi dalam negeri.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya (CPO) per 28 April 2022, dinilai sebuah kebijakan bersifat emosional jangka pendek.
Anggota Komisi VI DPR Rafli mengatakan, bila kegiatan ekspor minyak goreng dilarang, maka industri dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi dalam negeri.
“Bukan solusi, perlu di evaluasi. Kasusnya serupa kebijakan stop ekspor batu bara, sangat terkesan emosional, akhirnya rugi. Jangan sampai Larangan kebutuhan ekspor minyak goreng mengakibatkan kerugian," kata Rafli, Senin (25/4/2022).
Baca juga: Legislator Demokrat: Larangan Ekspor CPO-Minyak Goreng Bentuk Tindakan Tegas Presiden
"Pemerintah perlu mengakomodir siklus perdagangan CPO, bukan serta merta stop ekspor, itu bukan solusi menyeluru," sambungnya.
Rafli merinci, produksi minyak goreng pada 2021 mencapai 20,22 juta ton, sebanyak 5.07 ton atau 25,05 persen digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan 15,55 juta ton atau 74,93 persen di ekspor.
"Berdasarkan presentase tersebut surplus produksi sangat besar," ucapnya.
Baca juga: RI Stop Ekspor CPO, China Bakal Kena Imbas
Kebijakan ekspor, kata Rafli, hanya perlu diseimbangkan dengan mekanisme subsidi minyak goreng dalam negeri dengan pola Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang sudah diatur.
Hal tersebut sudah dipraktikan negara tetangga Malaysia, mereka penghasil CPO kedua di dunia, dengan harga minyak goreng Rp 8.500 per kg.
Bandingkan, Indonesia sebagai penghasil minyak goreng nomor 1 dunia, harga relatif lebih mahal.
"Sebaiknya kita duduk bersama dulu dengan para produsen minyak goreng untuk evaluasi kebijakan ini, bila perlu studi banding. Ingat, komoditi ekspor berkontribusi besar bagi devisa," tuturnya.
Rafli pun mengusulkan, untuk menjaga stabilitas harga, setiap daerah penghasil kelapa sawit harus ada pabrik pengolahan minyak goreng.
"Di sisi lain ada tiga perusahaan besar BUMN penghasil minyak goreng, semestinya pemerintah mampu bikin harga lebih murah," katanya.