Pasar Minyak Nabati Dunia Bergejolak Setelah Indonesia Larang Ekspor CPO
Pasar minyak nabati dunia bergejolak setelah Indonesia mengumumkan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) ke luar negeri
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasar minyak nabati dunia bergejolak setelah Indonesia mengumumkan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) ke luar negeri di tengah tingginya harga CPO di pasar internasional.
Harga CPO di pasar internasional telah mencapai rekor harga tertinggi tahun ini. Keputusan Indonesia melarang ekspor CPO memicu kekhawatiran importir utama minyak kelapa sawit dunia.
Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak digunakan di dunia, termasuk untuk pembuatan produk makanan seperti biskuit, cokelat, pembuatan margarin, hingga deterjen.
Minyak kelapa sawit juga dikenal sebagai minyak nabati yang paling banyak diproduksi, dikonsumsi dan diperdagangkan di pasar global.
Minyak kelapa sawit telah menyumbang sekitar 40 persen, dari pasokan empat minyak nabati paling populer, yaitu minyak kelapa sawit, minyak kedelai, minyak canola dan minyak biji bunga matahari.
Berikut ini rincian mengenai pasar minyak nabati dunia menurut Reuters:
Minyak Kelapa Sawit
Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mengungkapkan sekitar 77 juta ton minyak sawit diharapkan akan diproduksi tahun ini.
Indonesia sendiri merupakan produsen, eksportir dan konsumen utama minyak kelapa sawit, yang telah menyumbang sekitar 60 persen dari total pasokan. Pemasok kedua minyak kelapa sawit terbesar yaitu Malaysia, telah menyumbang sekitar 25 persen dari pangsa pasar global.
Baca juga: Anggota DPR Minta Larangan Ekspor Minyak Goreng dan CPO Tidak Angin-anginan
Sementara itu, India adalah importir utama minyak kelapa sawit. Importir utama lainnya yaitu China, Pakistan, Bangladesh, Mesir dan Kenya.
Menurut data USDA, minyak sawit menyumbang sekitar 40 persen dari konsumsi minyak nabati di India. Impor minyak sawit di India diperkirakan akan turun tahun ini, menyusul kebijakan perdagangan Indonesia yang akan membatasai ekspor minyak kelapa sawit, yang disebabkan karena harga minyak nabati yang tinggi dan faktor lainnya.
Baca juga: Indonesia Larang Ekspor CPO, Tiga Negara Ini Bakal Terkena Dampaknya
Produk minyak sawit global pada tahun 2020 dan 2021 merosot, akibat menurunnya jumlah tenaga kerja migran di perkebunan di seluruh Asia Tenggara.
Sebelumnya, Indonesia telah membatasi ekspor minyak nabati, sejak akhir Januari hingga pertengahan Maret untuk mencoba mengendalikan harga minyak goreng domestik.
Minyak Nabati Lainnya
Sementara itu, minyak kedelai adalah minyak nabati kedua yang paling banyak diproduksi. Sekitar 59 juta ton minyak kedelai diharapkan dapat diproduksi tahun ini.
China merupakan produsen terbesar minyak kedelai, dengan memproduksi sekitar 15,95 juta ton minyak kedelai. Kemudian disusul Amerika dengan 11,9 juta ton minyak kedelai, Brasil 9 juta ton minyak kedelai, dan Argentina sebanyak 7,9 juta ton.
Harga minyak kedelai global juga dilaporkan telah melambung ke rekor tertinggi, di tengah kekhawatiran atas keputusan Indonesia untuk melarang ekspor minyak kelapa sawit.
Argentina sebagai pengekspor kedelai utama, diprediksi tahun ini akan mengalami penurunan ekspor minyak kedelai, menyusul akhir musim tanam kedelai yang buruk.
Negara ini sempat menghentikan penjualan minyak kedelai ke luar negeri pada pertengahan Maret lalu, sebelum akhirnya menaikan tarif pajak ekspor minyak kedelai menjadi 33 persen. Upaya ini diyakini dapat menekan inflasi domestik.
Menurut USDA, Brasil dan Amerika Serikat adalah eksportir terbesar berikutnya. Diperkirakan lebih banyak pabrik penghancur kedelai akan dibuka di tahun-tahun mendatang di AS, akibat meningkatnya permintaan untuk menggunakan minyak kedelai untuk bahan bakar hayati (biofuel), namun kemungkinan AS tidak dapat meningkatkan kapasitas dan memenuhi permintaan minyak kedelai untuk waktu dekat.
Untuk minyak nabati lainnya, yaitu minyak canola, USDA memperkirakan tahun ini akan diproduksi sebanyak 29 juta ton, terutama di wilayah Eropa, Kanada dan China.
Tahun lalu, kekeringan telah memangkas panen canola di Kanada, sedangkan Eropa juga dihadapkan pada masalah kerusakan tanaman, yang membuat pasokan minyak canola untuk tahun ini berkurang.
Asosiasi Pengolah Biji Minyak Kanada mengatakan pada tahun lalu, Kanada mengekspor sekitar 75 persen dari minyak canola yang digunakan dalam makanan dan bahan bakar, kemudian diikuti Amerika Serikat sebesar 62 persen, dan 25 persen diisi oleh minyak canola dari China.
Sementara itu, dua negara yang saat ini sedang terlibat konflik yaitu Rusia dan Ukraina, telah menyumbang sekitar 55 persen dari produksi minyak biji matahari global dan memenuhi sekitar 76 persen dari ekspor dunia.
Sayangnya sejak invasi Rusia ke Ukraina terjadi, pengiriman minyak biji matahari dari wilayah tersebut telah merosot dan produksi minyak biji matahari di Ukraina tahun ini diprediksi akan terganggu.
Importir utama minyak biji matahari, yaitu China, India dan Eropa, dikabarkan mulai berebut untuk menemukan minyak alternatif, yang dapat menggantikan pasokan yang hilang dari dua negara tersebut. Lebih dari 90 persen minyak biji bunga matahari impor India, berasal dari Ukraina dan Rusia.
Rugikan China
Kebijakan RI menyetop ekspor CPO membuat China menjadi salah satu negara yang paling dirugikan. China merupakan importir minyak sawit terbesar kedua di dunia dan kini menghadapi kesulitan pasokan jangka pendek jika larangan itu terus berlanjut.
Pelaku industri grosir dan eceran biji-bijian yang berbasis di Shanghai, Chen Hao mengatakan minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia dan memiliki volume perdagangan tertinggi diantara minyak nabati lainnya.
Chen Hao menambahkan, harga minyak nabati lainnya diperkirakan akan mengalami kenaikan.
“Harga domestik untuk minyak kedelai, minyak kacang tanah dan minyak colza akan naik karena meskipun permintaan secara keseluruhan tetap normal, minyak sawit, sumber utama pasokan, menurun,” kata Chen, yang dikutip dari globaltimes.cn.
Menurut situs informasi perdagangan komoditas China mysteel.com, pada kuartal pertama tahun 2022, China mengimpor sebanyak 258.300 ton minyak sawit dari Indonesia dan 242.800 ton dari Malaysia, masing-masing menyumbang sekitar 52 persen dan 48 persen dari total impor China.
Presiden Joko Widodo mengatakan larangan tersebut dikeluarkan untuk mengamankan pasokan makanan dalam negeri karena dua eksportir biji-bijian utama, Rusia dan Ukraina sedang menghadapi konflik.
Sekretaris jenderal Pusat Penelitian untuk Kerjasama China-Asia Selatan di Institut Studi Internasional Shanghai, Liu Zongyi mengatakan larangan ekspor minyak sawit Indonesia juga bertujuan untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai pengekspor komoditas penting.
“Selain mengamankan pasokan di dalam negeri, Indonesia juga bertujuan untuk memperkuat posisi globalnya sebagai pengekspor komoditas penting,” ujar Liu.
Sedangkan pemimpin redaksi cngrain.com, Jiao Shanwei mengatakan dampak larangan ekspor minyak sawit Indonesia di China akan terlihat dalam jangka pendek, dan biaya produksi dan pemrosesan akan mengalami kenaikan. Namun, menurut Jiao perdagangan normal minyak colza dan kacang tanah, dapat meredakan ketegangan saat ini.
“Tetapi operasi normal perdagangan minyak colza China-Rusia, dan kacang tanah yang diimpor dari AS di bawah perjanjian perdagangan bilateral, dapat meredakan ketegangan saat ini,” kata Jiao.
Minyak kacang tanah merupakan pengganti utama minyak sawit di China. Untuk mengamankan ketahanan pangan negara itu, Provinsi Heilongjiang, China Timur Laut mengumumkan pada Sabtu (23/4/2022) kemarin, provinsi tersebut berencana untuk memperbesar area penanaman kacang tanah hingga melebihi 10 juta mu atau sekitar 666.666,67 hektar dan berusaha untuk meningkatkan produksi sebesar1,3 miliar ton pada tahun 2022 .
“Kesenjangan pasokan kelapa sawit pasti akan meningkatkan permintaan kacang tanah. Otoritas terkait seperti China Grain Reserves akan melepaskan cadangan kacang tanah jika harga meroket di luar penerimaan pasar.” ujar Chen Hao.
Malaysia Diuntungkan?
Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan, Pemerintah seharusnya memikirkan kembali rencana larangan ekspor CPO.
Kebijakan tersebut dinilainya bakal mengulang kesalahan stop ekspor mendadak pada komoditas batubara pada Januari 2022 lalu. Yang kemudian Indonesia akan mendapatkan protes keras.
Beberapa negara yang akan memberikan respon yakni seperti India, China, Pakistan. Karena mereka importir CPO terbesar dan merasa dirugikan dengan kebijakan ini.
“Apakah masalah (pemenuhan CPO di dalam negeri) akan selesai? Kan tidak, justru diprotes oleh calon pembeli di luar negeri,” ucap Bhima saat dihubungi Tribunnews (24/4/2022).
“Biaya produksi manufaktur maupun harga barang konsumsi di tiga negara tersebut akan naik signifikan, dan Indonesia yang disalahkan,” sambungnya.
Bhima melanjutkan, dalam kondisi terburuk bisa menimbulkan retaliasi atau pembalasan, yakni negara yang merasa dirugikan akan menyetop mengirim bahan baku yang dibutuhkan Indonesia, sehingga akibatnya bisa fatal.
Tak hanya sampai di situ, kebijakan larangan ekspor CPO akan menguntungkan negara-negara lain yang produsen minyak nabati atau alternatif.
“Pelarangan ekspor juga akan untungkan Malaysia sebagai pesaing CPO Indonesia sekaligus negara lain yang memproduksi minyak nabati alternatif seperti soybean oil, rapseed oil dan sunflower oil yakni AS dan negara di Eropa,” papar Bhima.
Ia membeberkan, seharusnya yang dilakukan cukup mengembalikan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) CPO 20 persen.
Sejalan adanya kebijakan tersebut, Pemerintah harus lebih aktif dalam membenahi soal kepatuhan produsen.
“Pasokan 20 persen dari total ekspor CPO untuk kebutuhan minyak goreng lebih dari cukup. Estimasi produksi CPO setahun 50 juta ton, sementara penggunaan untuk minyak goreng hanya 5-6 juta ton alias 10 persennya. Sisanya mau disalurkan kemana kalau stop ekspor?” pungkasnya.