Cadangan Energi Panas Bumi di RI Masih Melimpah, Berikut Datanya
pengembangan energi primer dari energi fosil ke EBT dengan menempatkan panas bumi sebagai skala prioritas tidaklah berlebihan
Penulis: Sanusi
Editor: Muhammad Zulfikar
“Sesuai prediksi kami, kedepannya akan tumbuh signifikan sehingga dapat mengakselerasikan pembangunan pembangkit renewable baru,” ujarnya saat menjadi narasumber pada Acara Bincang-bincang METI yang merupakan rangkaian kegiatan Launching The 11th Indonesia EBTKE Conference and Exhibition 2022, baru-baru ini.
Menurut Wiluyo, panas bumi mendapatkan prioritas kedua untuk dikembangkan setelah PLTA. Dia menilai,tantangan pengembangan panas bumi yang paling terasa adalah dari sisi biaya. Untuk mengejar target RUPTL, PLN tidak bisa sendiri dan harus bekerja sama dengan pihak lain.
"Tahun 2030 pembangkitan renewable bisa meningkat 28 GW. Pembangunan geothermal kami alokasikan 3,4 GW. Butuh biaya yang sangat tinggi untuk bangun pembangkit sampai 2060. Kami buka pintu bagi pihak swasta untuk bangun bersama pembangkit-pembangkit renewable," ujarnya.
Mantan Direktur Transmisi dan Distribusi PLN (2003-2008) Herman Darnel Ibrahim, mengakui ada beberapa masalah yang dihadapi guna mengejar target EBT dalam bauran energi, antara lain teknis, regulasi dan koordinasi, serta pendanaan. Solusi mengatasi masalah dalam pengembangan panas bumi tidak bisa mengandalkan satu institusi.
“Potensi panas bumi yang besar akan percuma jika tidak bisa dimonetisasi,” ujarnya.
Menurut dia, Indonesia harus terus membangun science and technology panas bumi, tidak cukup hanya bangga punya potensi 40 persen dunia. Aspek regulasi pengembangan panas bumi juga harus mendukung.
“Kumpulkan seluruh aturan, pusat- daerah, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Keuangan. Perbaiki semua untuk kemudahan pembangunan panas bumi," kata Herman yang juga Anggota Dewan Energi Nasional Perwakilan Industri.