Program Pangan Dunia Tingkatkan Kewaspadaan Terhadap Potensi Krisis Pangan di Tahun 2023
Beasley mengatakan jumlah populasi yang sangat rawan pangan mencapai 276 juta orang sebelum invasi Rusia.
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, MILAN – Kepala Program Pangan Dunia (WFP) David Beasley memperingatkan tentang potensi kekurangan pangan global tahun depan jika Rusia tidak segera membuka blokade ekspor biji-bijian Ukraina.
"Dan itu akan menjadi krisis di luar apa pun yang telah kita lihat dalam hidup kita," kata Beasley yang dikutip oleh VoA News, Kamis (21/7/2022).
Beasley mengatakan bahwa kerusuhan sipil dan aksi protes di hampir 50 negara pada tahun 2008 lalu terjadi ketika inflasi global dan harga pangan mengalami lonjakan parah.
Baca juga: Antisipasi Naiknya Harga Gandum, Badan Pangan Nasional Dorong Konsumsi Bahan Pangan Lokal
“Situasi saat ini jauh lebih buruk, dan kami sudah mulai melihat destabilisasi terjadi di banyak negara, seperti Sri Lanka. Kami juga melihat apa yang terjadi di Mali, Chad, Burkina Faso,” kata Beasley.
Selain destabilisasi dan potensi migrasi massal, Beasley mengatakan jumlah populasi yang sangat rawan pangan mencapai 276 juta orang sebelum invasi Rusia. Namun, untuk saat ini jumlahnya diperkirakan naik menjadi 345 juta orang.
Beasley menyambut baik dukungan AS, dengan memberi dana hampir 6 miliar dolar AS untuk WFP. Dia kemudian mengisyaratkan bahwa negara lain belum cukup melangkah.
"Seperti yang kami dengar, China hanya memberi kami 3 juta dolar AS," kata Beasley.
Sementara itu, PBB yang telah bekerja dengan Rusia, Ukraina, dan Turki, diharapkan dapat membuat kesepakatan untuk segera mengakhiri blokade gandum Ukraina.
Beasley dan Duta Besar AS Linda Thomas-Greenfield berharap kesepakatan akhir akan diumumkan dalam beberapa hari mendatang.
Di sisi lain, Kremlin justru menuduh dan menyalahkan sanksi Barat yang membuat krisis pangan dan meningkatnya harga pupuk global.
“Padahal sebenarnya tidak ada sanksi terhadap produk pertanian mereka, tidak ada sanksi terhadap pupuk mereka,” Thomas-Greenfield menggarisbawahi.
Baca juga: Atasi Krisis Pangan Global, Rusia Genjot Ekspor Minyak dan Tepung Bunga Matahari
“Mereka bisa memindahkan hasil pertaniannya. Mereka dapat memindahkan gandumnya jika mereka ingin melakukannya. Tetapi mereka lebih suka menyalahkan seluruh dunia, berpikir bahwa itu akan membuat mereka mendapat lebih banyak dukungan dari dunia. Dan saya pikir mereka telah gagal.” imbuhnya.
Samantha Power, administrator Badan Pembangunan Internasional AS, mengatakan kepada para senator bahwa salah satu hal yang sedang dikerjakan USAID adalah membantu negara-negara Afrika mengurangi ketergantungan pada pupuk dari Rusia, yang tidak lagi menjadi sumber yang dapat diandalkan.
“Jadi, kami berusaha untuk mendiversifikasi dan juga memastikan produksi pupuk di Afrika, serta kedaulatan pangan di negara-negara yang terlalu bergantung pada impor,” kata Power.
Secara terpisah, anggota parlemen AS juga menyatakan keprihatinan atas situasi dan kampanye disinformasi Rusia. Mereka juga mengkritik China karena bersekutu dengan Rusia ketika kerawanan pangan tumbuh.