Anggota Komisi VII Dukung Menteri Bahlil Hadapi Tekanan Uni Eropa dan IMF Soal Ekspor Bijih Nikel
Dukungan Mukhtaruddin kepada Menteri Bahlil ini sejalan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar Bahlil tidak tunduk kepada tekanan IMF.
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Editor: Erik S
“Saya kira kita dukung pemerintah untuk memperkuat diplomasi dan memperkuat argumentasinya di pengadilan banding di WTO itu. Dan kita mendukung langkah pemerintah yang tetap bertahan untuk melakukan banding, dan kita tentu harus tetap mempertahankan, tidak boleh kita kendor dalam artian kalau memang nanti kita kalah di banding, kita ada upaya-upaya lain lagi yang harus kita lakukan,” tegasnya.
“Prinsipnya hilirisasi itu adalah sebuah keharusan yang harus kita lakukan dalam rangka kita memperbaiki perekonomian kita, ini juga dalam rangka kedaulatan dalam mengelola hasil alam kita kan, tidak boleh ada imperialisme regulasi yang dilakukan Uni Eropa yang dilakukan terhadap negara kita yang sudah merdeka,” tutupnya.
Sebagaimana diketahui, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menceritakan ia diminta oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melawan pihak-pihak yang mengganggu kedaulatan Indonesia.
Hal itu disampaikan Jokowi karena berbagai pihak termasuk Dana Moneter Internasional (IMF) menentang Indonesia menyetop kebijakan ekspor bijih nikel sejak 2020.
IMF baru-baru ini mengeluarkan rekomendasi agar Indonesia mengkaji ulang larangan ekspor bijih nikel dan komoditas lainnya. Permintaan itu disampaikan dalam IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia yang dirilis pada Minggu (25/6) lalu.
"Saya tanya bapak presiden. Kata bapak presiden negara ini sudah berdaulat, maju terus dan lawan. (Akhirnya) kita hadapi di WTO, sekarang kita banding," kata Bahlil.
Baca juga: Perkara Larangan Ekspor Bijih Nikel Indonesia Kalah, Ini Langkah yang Akan Ditempuh
Bahlil juga menceritakan masa awal kebijakan larangan ekspor bijih nikel diterapkan. Kebijakan itu dikeluarkan tidak lama setelah Bahlil menjabat menteri. Saat itu, ia juga masih menjadi pengusaha tambang sehingga kebijakan tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap bisnisnya.
"Waktu itu saya baru menjabat empat hari. Saya waktu itu jadi pengusaha juga, pengusaha tambang," ujar Bahlil.