Pengamat Energi: Kebijakan Uji Emisi Saja Tidak Akan Cukup Atasi Kualitas Udara
Sektor transportasi berkontribusi sebesar 44 persen atas penggunaan bahan bakar di Jakarta.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
![Pengamat Energi: Kebijakan Uji Emisi Saja Tidak Akan Cukup Atasi Kualitas Udara](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/uji-emisi-daihatsu.jpg)
Namun perlu diketahui bahwa Euro 4 bukan sekedar sulfur saja tetapi meliputi pembatasan kadar kandungan senyawa kimia berbahaya seperti benzena, aromatik, olefin yang menyebabkan pencemaran udara dan merusak sistem pernapasan.
BBM berstandar Euro 4 juga memiliki batas kandungan benzena maksimal 1 persen (v/v), aromatik maksimal 35 persen (v/v) dan olefin maksimal 18 persen (v/v).
Sementara, spesifikasi BBM Pertamax maupun Pertamax Green 95 memiliki batas benzena maksimal 5 persen (v/v), aromatik maksimal 40 persen (v/v) dan olefin 20 persen (v/v).
Sedangkan, BBM Pertalite tidak memiliki batas maksimal kandungan senyawa kimia tersebut, namun cukup dilaporkan.
Terkait dengan penggunaan bioetanol sebagai bentuk transisi energi bersih sebagaimana yang digaungkan saat ini tak menjamin bisa mengatasi kualitas udara yang semakin memburuk.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bioetanol bisa meningkat senyawa organik mudah menguap atau volatile organic compounds karna tekanan uap bensin lebih tinggi.
Oleh karena itu, Mexico telah melarang penggunaan bioetanol di kota besar seperti Mexico City, Guadalara dan Monterrey.
"Namun demikian, alih-alih meningkatkan kualitas BBM sesuai standar Euro 4 yang urgen dilakukan saat ini untuk meningkat kualitas udara yang bersih, justru ada upaya untuk mendorong bioetanol yang membutuhkan investasi besar dari hulu hingga hilir dan waktu yang panjang. Padahal, kesehatan dan hak masyarakat, adalah kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi," sesal Badar.
Badar melihat, implementasi bioetanol juga menimbulkan persoalan baru di kemudian hari.
“Kalau ngotot akan menggunakan bioetanol, maka ketergantungan kita pada impor akan meroket, karena pasokan bioetanol domestik saat ini tidak cukup. Sehingga mau tidak mau justru akan membuka keran impor bioetanol dan ini berdampak kepada petani dan produsen lokal dan membuat harga BBM semakin tidak terjangkau," tukas Badar.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menuturkan Indonesia butuh waktu untuk memanfaatkan bioetanol secara besar-besaran.
Bahan baku masih menjadi tantangan untuk pengembangan bioetanol ini.
Menurut Tutuka, pengembangan bioetanol tidak bisa secepat biodiesel. Sementara, jika menggunakan bioetanol impor akan berdampak pada biaya dan harga bahan bakar.
"Itu masih agak lama etanolnya karena pakai apa kita. Kalau biodiesel kita punya hulunya, kelapa sawit, tapi ini kan kita belum punya. Awal rantai pasoknya nggak punya di hulunya, jadi menurut saya tidak bisa cepat seperti biodiesel. Karena kalau impor pasti akan tambah biaya dan tinggi harganya," terangnya.
Artikel ini merupakan bagian dari inisiatif Lokal Asri yang berfokus pada lokalisasi nilai-nilai tujuan pembangunan berkelanjutan. Pelajari selengkapnya!
A member of
![asia sustainability impact consortium](https://asset-1.tstatic.net/img/lestari/esg-regional.png)
Follow our mission at sustainabilityimpactconsortium.asia
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.