Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

BASF Batal Investasi Rp 42 Triliun di Proyek Sonic Bay, Ini Respons Pemerintah

BKPM angkat suara terkait pembatalan rencana investasi pemurnian nikel oleh BASF dan Eramet pada Proyek Sonic Bay di Maluku Utara.

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Sanusi
zoom-in BASF Batal Investasi Rp 42 Triliun di Proyek Sonic Bay, Ini Respons Pemerintah
Bambang Ismoyo/Tribunnews.com
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Nurul Ichwan 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) angkat suara terkait pembatalan rencana investasi pemurnian nikel oleh BASF dan Eramet pada Proyek Sonic Bay di Maluku Utara.

Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Nurul Ichwan menyampaikan, BASF dan Eramet sejatinya telah memiliki legalitas usaha atas nama PT Eramet Halmahera Nikel (PT EHN) untuk mengembangkan proyek Sonic Bay senilai 2,6 miliar dolar AS di Kawasan Industri Teluk Weda, Maluku Utara.

Baca juga: BASF Akan Inves Rp 38 Triliun untuk Bangun Pabrik Baterai EV di Indonesia

Jika dikonversi ke dalam rupiah, angka tersebut setara Rp42,6 triliun (asumsi kurs Rp16.405 per dolar AS).

Proyek ini berupa pembangunan pabrik pemurnian nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) yang menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitates (MHP).

Nurul Ichwan menyampaikan, bahwa keputusan BASF dan Eramet untuk membatalkan investasinya adalah keputusan bisnis yang diperoleh setelah melakukan berbagai evaluasi.

"Kami dari awal terus mengawal rencana investasi ini," ungkapnya dalam pernyataan tertulis yang diperoleh, Kamis (27/6/2024).

Baca juga: BASF Minat Inves di Pabrik Bahan Baku Baterai Mobil Llistrik di Indonesia

Berita Rekomendasi

"Namun pada perjalanannya, perusahaan beralih fokus, sehingga pada akhirnya mengeluarkan keputusan bisnis membatalkan rencana investasi proyek Sonic Bay ini," sambungnya.

Nurul Ichwan melanjutkan, keputusan tersebut telah diketahui oleh Pemerintah sejak beberapa waktu lalu.

Ia menegaskan, hal ini tidak menurunkan minat investor asing untuk menanamkan modalnya pada sektor hilirisasi di Indonesia.

Berdasarkan rilis perusahaan, keputusan BASF dan Eramet untuk tidak meneruskan rencana investasi didasarkan pada pertimbangan akan perubahan kondisi pasar nikel yang signifikan, khususnya pada pilihan nikel yang menjadi suplai bahan baku baterai kendaraan listrik.

Sehingga, BASF memutuskan bahwa tidak ada lagi kebutuhan untuk melakukan investasi suplai material baterai kendaraan listrik.

Baca juga: BKPM Terbitkan 11.096 NIB per Hari, Bahlil Ungkap OSS Sempat Polemik Era Tom Lembong

Nurul juga menanggapi, minat investor asing di sektor hilirisasi tetap tinggi dan bahkan beberapa proyek investasi di sektor tersebut telah mencapai tahap realisasi.

Sebagai contoh, proyek smelter tembaga terbesar di dunia milik PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur resmi beroperasi mulai 27 Juni 2024.

Bukti nyata lainnya, produksi massal baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia akan dimulai oleh PT Hyundai LG Indonesia (HLI) Green Power di Karawang, Jawa Barat pada Juli 2024 dan akan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.

"Kami melihat hilirisasi untuk ekosistem baterai kendaraan listrik masih sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Apalagi, baru-baru saja Indonesia mendapat peringkat 27 pada World Competitiveness Ranking (WCR) 2024. Top 3 terbaik di wilayah ASEAN," pungkas Nurul.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas