Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Dongkrak Kinerja Industri TPT

Pada tahun 2024 ini, alokasi anggaran restrukturisasi mesin kepada industri TPT mencapai Rp35 miliar untuk 45 perusahaan. 

Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Dongkrak Kinerja Industri TPT
WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN
Ilustras industri tekstil dan garmen. Pada tahun 2024 ini, alokasi anggaran restrukturisasi mesin kepada industri TPT mencapai Rp35 miliar untuk 45 perusahaan.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perindustrian kembali menggulirkan program restrukturisasi mesin kepada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri alas kaki pada Tahun 2024. 

Program ditujukan untuk memperbarui mesin dan dinilai mampu meningkatkan produktivitas dan efisiensi sehingga memacu daya saing perusahaan tersebut.

“Program ini dimulai sejak tahun 2007, berlanjut hingga 2015. Tetapi program ini sempat berhenti pada 2016 sampai 2020 untuk diakukan evaluasi, kemudian tahun 2021 baru dimulai lagi sampai saat ini,” kata Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki (ITKA), Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Adie Pandiangan di Jakarta, Kamis (19/9/2024).

Adapun awal anggaran yang digelontorkan untuk program restrukturisasi mesin pada tahun 2015 sebesar Rp250 miliar dengan anggaran penggantian per satu perusahaan sebesar Rp5 miliar.

Baca juga: Pabrik Tekstil RI Terus Berguguran, PHK Makin Masif, Ternyata Ini Biang Kerok

Setelah dilakukan evaluasi pada tahun 2016 dan 2017 Program ini dimulai kembali pada tahun 2021 terdapat delapan perusahaan yang menerima. Tahun 2022 terdapat 15 perusahaan, dan 2023 sebanyak 12 perusahaan.

“Tentunya harapan kami, semakin banyak perusahaan yang memanfaatkan program ini. Tujuannya adalah untuk memajukan industrinya. Sebab, secara teori, pertumbuhan industri didukung oleh teknologi, selain juga SDM yang terampil dan inovasi. Melalui teknologi yang baru, diharapkan dapat terciptanya inovasi produk sehingga bisa berdaya saing,” paparnya.

Adie mengemukakan, pada tahun 2024 ini, alokasi anggaran restrukturisasi mesin kepada industri TPT mencapai Rp35 miliar untuk 45 perusahaan. 

BERITA REKOMENDASI

“Perbedaannya dibanding tahun 2021- 2023, kalau saat itu setiap satu perusahaan mendapat 10 persen dari investasi pembelian mesinnya dengan maksimum penggantian sebesar Rp 500 juta . Sedangkan, untuk tahun ini, setiap perusahaan maksimum mendapat Rp1 miliar,” sebutnya.

Terkait kriteria perusahaan yang bisa mendapatkan program restrukturisasi mesin ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin), seperti yang sebelumnya tertuang pada Permenperin Nomor 18 Tahun 2021, dan saat ini Permenperin 20/2024.

“Aturan dasarnya adalah industrinya harus beli mesin, dan mesinnya itu ada periode waktu beli. Misalnya untuk program tahun ini, beli mesinnya itu boleh dari tahun lalu pada 1 Juni 2023 sampai dengan tahun ini sampai 30 Juni 2024,” jelas Andi.

Sementara itu, Kemenperin fokus untuk pemberian program restrukturisasi mesin pada tahun 2024, sasarannya kepada subsektor industri TPT yang mengalami guncangan berat akibat banyaknya impor. 

“Jadi, saat ini kami fokus salah satunya ke industri kain, tentunya yang mempunyai perizinan sesuai dengan KBLI, seperti industri pertenunan, perajutan, serta industri dyeing, printing, finishing,” imbuhnya.

Adapun pertimbangan TPT diberikan program restrukturisasi juga karena memiliki multiplier effect yang luas bagi perekonomian, antara lain kontribusinya terhadap devisa baik itu dari investasi maupun ekspor serta jumlah serapan tenaga kerja yang banyak.

“Menurut informasi, bahwa Kementerian Keuangan akan menambah anggaran untuk program ini apabila efek positifnya itu benar-benar tercipta di tahun-tahun mendatang. Tetapi, secara kajian, efek itu memang real terjadi, dengan mesin baru, perusahaan bisa lebih produktif dan efisien,” terang Adie.

Mengenai proses waktunya, Adie menambahkan, umumnya perusahaan akan memakan waktu sebulan dalam pengajuan program ini. Namun bisa lebih cepat apabila doumen-dokumen perusahaan yang dibutukan sudah lengkap.

Berikan apresiasi

PT Indonesia Libolon Fiber System mengapresiasi langkah Kemenperin dalam menghadirkan program peremajaan mesin bagi industri tekstil di Indonesia. 

Menurut Direktur PT Indonesia Libolon Fiber System, Amran Aman, pada tahun 2023 perusahaan membeli mesin tension control, yakni mesin persiapan untuk tenun senilai 56.370.000 yen. Setelah berhasil mengajukan program restrukturisasi, pihaknya memeroleh investasi dari Kemenperin sebesar Rp500.000.000.

“Kebetulan pada tahun 2023 itu kami ingin menambah kapasitas. Awalnya kami Cuma punya 360 mesin, sekarang kami tambah lagi, sehingga menjadi 600 mesin,” ungkapnya kepada Tribunnews.com.

Karena merasakan manfaat yang berarti dari program restrukturisasi, PT Indonesia Libolon Fiber System kembali mengikuti program tersebut pada tahun 2024. 

“Jadi, kami sudah ikut kedua kali, dan di tahun 2024 ini kami mendapatkan investasi kurang lebih Rp1 Miliar dari Kemenperin,” imbuhnya.

Amran mengaku, saat ini permintaan pasar memang tengah menurun sehingga pabriknya hanya dapat menjalankan kapasitas sebesar 50 persen, dengan produksi sebesar 2-2,5 juta yard per bulan.

“Secara garis besar di Asia Tenggara, memang kami ada persaingan besar dengan Vietnam. Walaupun pasarnya sepi, tetapi kami tetap bertahan. Jadi, saat ini kami berusaha investasi besar-besaran untuk bisa mempersiapkan produksi di tahun 2025 lebih meningkat lagi,” ujar Amran.

Ia pun menyebut bahwa program restrukturisasi mesin dari pemerintah ini membantu produksi dari perusahaan menjadi lebih aman dan terkontrol, khususnya soal cash flow. 

“Kami cukup terbantu dengan perhatian dari pemerintah. Karena dengan nilai investasi ini, berarti pemerintah juga ikut andil memperhatikan keberlangsungan industri tekstil di Indonesia,” tuturnya.

Ke depannya, Amran berharap program yang diberikan dari Kemenperin ini bisa lebih ditingkatkan lagi, khususnya dalam hal perusahaan tekstil yang lebih ramah lingkungan (go green).

Untuk diketahui, Indonesia Libolon dalam proses produksinya telah menggunakan gas untuK menghasilkan energi, dari yang sebelumnya menggunakan batu bara. 

Sayangnya, penggunaan gas ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, yakni sekitar 14 dolar per satu juta British Thermal Units (MMBTU).

“Jadi untuk ke depannya, alangkah baiknya jika dari pemerintah bisa mengupayakan untuk adanya tambahan bantuan untuk perusahaan dalam hal penggunaan energi gas yang lebih go green. Apalagi negara Eropa dan Amerika telah mengharapkan banyak industri tekstil di Indonesia bisa menerapkan sistem go green dalam hal energi,” kata Amran.

Pertama kali

Perusahaan tekstil lainnya yang juga memanfaatkan program restrukturisasi mesin pada tahun 2024, yaitu PT Tridayamas Sinarpusaka yang berlokasi di Baleendah, Bandung. 

Yudi Hendra, perwakilan PT Tridayamas Sinarpusaka, menjelaskan bahwa perusahaan yang memproduksi busana gamis ini baru mengikuti program restrukturisasi mesin pada tahun 2024 untuk pertama kalinya.

Dalam wawancaranya dengan Tribunnews.com, ia pun mengungkapkan dampak signifikan dari pembaruan mesin, yang menunjang kecepatan produksi dari awalnya 6-10 meter per menit menjadi 30-40 meter per menit.

“Mesin lama yang kami pakai itu speed-nya terlalu lambat. Untuk mesin flat printing itu 1 menit hanya sekitar 6-10 meter. Tapi, begitu diganti dengan mesin rotary, sekarang speed-nya itu bisa 30-40 meter per 1 menitnya. Jadi (produksi) itu memang terasa naiknya signifikan,” jelasnya.

Yudi menambahkan, hasil produksi PT Tridayamas Sinarpusaka dikirimkan ke sejumlah kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya yang kemudian didistribusikan lagi ke beberapa wilayah di Indonesia.

Meskipun mendapatkan dukungan dari pemerintah, Yudi mengungkapkan bahwa industri tekstil saat ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk maraknya impor ilegal yang mengganggu pasar lokal.

"Industri tekstil sebenarnya sedang berdarah-darah, jadi kami mempertahankan keadaan yang ada. Kami sangat terbantu dengan program restrukturisasi mesin ini tapi dampaknya masih
terbatas. Karena, permasalahan yang paling mendasar itu datangnya dari impor ilegal. Aktivitas itu benar-benar mengganggu industri seperti kami yang secara perizinan dan segala perizinan yang lainnya itu legal dan resmi,” tutur Yudi.

Tak hanya itu, lanjut Yudi, tekanan dari biaya operasional, seperti listrik dan upah tenaga kerja yang terus meningkat setiap tahun juga menambah beban perusahaan. 

“Biaya baku barang naik terus, upah buruh setiap tahun naik 5 persen. Pasti naik setiap Januari,” keluh Yudi.

“Oleh karena itu, Yudi berharap adanya insentif untuk industri tekstil selain untuk program restrukturisasi mesin” lanjut Yudi.

“Memang salah satu program bantuan Pemerintah adalah restrukturisasi mesin. Tapi kami berharap ada program-program lain yang benar-benar membantu. Karena perusahaan ini segala perizinan dan segala legalitas itu resmi. Tapi bantuan dari pemerintah untuk sektor ini, contohnya perbankan itu, nggak gampang ya kalau udah dengar usahanya di sektor tekstil,” ujar Yudi. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas