Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Industri Tembakau Nasional Terancam Aturan Turunan UU Kesehatan, Buruh Kena Imbas

Dampak terhadap penerimaan perpajakan diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun yang setara dengan 7?ri total penerimaan perpajakan nasional.

Penulis: Sanusi
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Industri Tembakau Nasional Terancam Aturan Turunan UU Kesehatan, Buruh Kena Imbas
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Pekerja menyortir tembakau di Gudang Tembakau, Klaten, Jawa Tengah. aat ini ada 143 ribu anggota FSP RTMM-SPSI yang menggantungkan nasibnya pada sektor IHT sebagai tenaga kerja pabrikan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS menyebut bahwa PP 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik terhadap Industri Hasil Tembakau secara nyata dapat mematikan keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) nasional.

Dikatakan Sudarto, saat ini ada 143 ribu anggota FSP RTMM-SPSI yang menggantungkan nasibnya pada sektor IHT sebagai tenaga kerja pabrikan.

"Kebijakan ini secara terang-terangan akan mematikan industri hasil tembakau nasional. Ada kurang lebih 226 ribu tenaga kerja anggota organisasi dari industri terkait yang akan terkena dampak dari regulasi tersebut," katanya.

Baca juga: Wakil Bupati Bantul Ingatkan Pentingnya Perlindungan Ekosistem Tembakau 

Sudarto menyesalkan karena Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak pernah melibatkan RTMM-SPSI dalam pembahasan pasal tembakau RPP Kesehatan.

"Padahal, produk tembakau adalah produk legal yang diakui negara. Dan sektor IHT juga telah menjadi sumber pendapatan besar bagi negara dan menyerap jutaan tenaga kerja," ungkapnya.

Oleh karena itu, dirinya meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan aturan produk tembakau dari RPP Kesehatan. Menurutnya, banyaknya larangan terhadap produk tembakau dalam RPP Kesehatan dinilai telah mengkhianati amanah UU Kesehatan yang sama sekali tidak melarang produk tembakau.

Sudarto menilai menilai aturan produk yang telah berlaku saat ini, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) sudah komprehensif mengatur pengendalian produk tembakau.

Berita Rekomendasi

"Aturan tersebut sebaiknya dipertahankan dan diperkuat implementasinya, bukan diganti tanpa ada evaluasi secara komprehensif," katanya.

Hal yang sama juga diungkapkan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad. Dirinya menilai kebijakan terkait industri rokok sehubungan dengan aturan-aturan yang tertera pada PP 28/2024 dan RPMK, yaitu kemasan rokok polos tanpa merek, larangan berjualan di sekitar satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dan pembatasan iklan luar ruang, berpotensi memberikan dampak ekonomi yang signifikan.

Menurutnya, jika aturan ini dilaksanakan maka dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp308 triliun atau setara dengan 1,5 persen dari PDB.

Selain itu, dampak terhadap penerimaan perpajakan diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun yang setara dengan 7 persen dari total penerimaan perpajakan nasional.

"Kebijakan ini juga berpotensi mempengaruhi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) dan produk turunannya atau 1,6 persen dari total penduduk bekerja," katanya.

Dijelaskan Tauhid, kebijakan PP 28/2024 serta RPMK perlu melibatkan setiap pemangku kepentingan dalam ekosistem Industri Hasil Tembakau (IHT), bukan hanya pelaku usaha, namun juga kementerian dan lembaga yang terlibat.

Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki ekosistem IHT yang kompleks dan berbeda dari negara lain yang telah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana negara-negara tersebut bukan merupakan negara penghasil tembakau maupun produk hasil tembakau serta memiliki kontribusi pajak rokok yang relatif rendah.

Tauhid mengungkapkan bahwa pihaknya (INDEF) memberikan rekomendasi agar pemerintah melakukan revisi PP 28/2024 dan membatalkan RPMK terutama pada pasal-pasal yang berpotensi berdampak negatif terhadap penerimaan dan perekonomian negara.

Selain itu, INDEF juga mendorong terjadinya dialog antar Kementerian dan Lembaga (K/L) yang berkepentingan dengan IHT, seperti Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pertanian.

"Jika kebijakan dan regulasi tersebut tetap diberlakukan, pemerintah diharapkan dapat mencari sumber alternatif penerimaan negara yang hilang serta menyiapkan lapangan pekerjaan baru bagi tenaga kerja yang terdampak," katanya. 

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas