Luhut Binsar Pandjaitan Rangkap Jabatan di Era Prabowo: Berpotensi Menjadi Beban Masa Depan
Posisi rangkap ini juga memunculkan beberapa kekhawatiran terkait transparansi, akuntabilitas, dan potensi konflik kepentingan.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
"Prabowo mungkin melihat Luhut sebagai figur yang mampu menjaga kesinambungan kebijakan sekaligus mengintegrasikan teknologi modern dalam pemerintahan," tuturnya.
LBP Berpotensi Menjadi Beban Prabowo Masa Depan
Namun, penugasan LPB kembali sebenarnya menimbulkan 3 permasalahan laten bagi Prabowo dimasa depan. Diantaranya:
- Pencerminan Pengabaian Regenerasi dan SDM Berkualitas Lainnya
Penunjukan Luhut dalam dua posisi kunci ini mengabaikan potensi sumber daya manusia (SDM) berkualitas lainnya yang bisa mengisi peran-peran strategis tersebut.
Ia menyampaikan, di Indonesia, terdapat banyak profesional dan teknokrat yang berkompeten, namun keputusan untuk tetap memilih Luhut mencerminkan lemahnya komitmen pemerintah dalam mendorong regenerasi kepemimpinan.
"Hal ini seolah menutup peluang bagi munculnya figur-figur baru yang dapat membawa ide dan inovasi segar dalam kebijakan ekonomi dan digitalisasi pemerintahan. Ketergantungan pada satu figur menciptakan kesan bahwa tidak ada SDM lain yang cukup layak, yang tentu saja bertentangan dengan prinsip meritokrasi," paparnya.
- Risiko Konflik Kepentingan dan Minimnya Transparansi
Penunjukan kembali Luhut, yang dikenal memiliki jaringan bisnis keluarga yang luas dan terhubung dengan berbagai proyek besar, memperbesar risiko konflik kepentingan.
Beberapa proyek besar seperti hilirisasi nikel dan infrastruktur sering dikritik karena kurangnya transparansi dalam pengelolaannya, serta dugaan keterlibatan perusahaan yang terafiliasi dengan Luhut dan keluarganya.
Lebih lanjut Ia mengatakan, dalam posisi sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Digitalisasi dan Teknologi Pemerintahan, potensi konflik kepentingan ini bisa semakin parah, mengingat pesatnya perkembangan teknologi dan keterlibatan sektor swasta.
"Kurangnya transparansi dalam proyek-proyek ini dapat semakin mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah," ucapnya.
- Cerminan Sentralisasi Kekuasaan yang Berlebihan
Dengan menugaskan Luhut pada dua posisi strategis, pemerintahan Prabowo berisiko mengulangi pola sentralisasi kekuasaan yang berlebihan, seperti yang terjadi di era Jokowi.
Konsentrasi kekuasaan pada satu individu tidak hanya menciptakan ketergantungan yang tinggi pada keputusan pribadi, tetapi juga dapat melemahkan tata kelola yang demokratis.
Dengan kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan Luhut, peran institusi dan pejabat lainnya berpotensi tereduksi, menciptakan ketidakseimbangan dalam pengambilan keputusan.
Hal ini berbahaya bagi perkembangan kebijakan publik yang seharusnya dihasilkan melalui mekanisme yang lebih terbuka dan partisipatif
"Alasan ini mencerminkan bahwa penunjukan Luhut bukan hanya soal kapasitas individu, tetapi juga soal bagaimana tata kelola yang baik, transparansi, dan regenerasi kepemimpinan seharusnya diprioritaskan dalam pemerintahan," tuturnya.