Celios: Makan Bergizi Gratis Jangan Jadi Celah Produk Pangan Impor
Sebanyak 56 persen responden menyarankan MBG dimulai secara bertahap untuk mengurangi risiko kebocoran dana dan inefisiensi.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Center of Economic and Law Studies (Celios) menekankan, jangan sampai program Makan Bergizi Gratis (MBG) jadi celah masuknya produk pangan impor.
Berdasarkan hasil studi Celios, 59 persen responden menolak bahan pangan impor dan menekankan pentingnya pemanfaatan produk lokal. 85 persen bahan baku Makan Bergizi Gratis berasal dari produk lokal dan UMKM.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira berujar, program tersebut harus berpihak pada peternak, petani lokal, maupun vendor UMKM yang berdekatan dengan lokasi sekolah.
Baca juga: Survei Celios: 52 Persen Responden Khawatirkan Kualitas Program Makan Bergizi Gratis Rp10 Ribu
"MBG jangan sampai menjadi celah masuknya berbagai pangan impor termasuk impor susu yang merugikan peternak lokal," ujar Bhima di Jakarta, Senin (30/12/2024).
Bhima mewanti jangan sampai berdampak ke berkurangnya serapan kerja, hingga mengancam stabilitas nilai tukar rupiah. Diketahui, pemerintah menganggarkan Rp 71 triliun untuk program Makan Bergizi Gratis pada 2025.
Direktur Keadilan Fiskal Celios Media Wahyudi Askar memaparkan, sebanyak 46 persen masyarakat menyoroti risiko inefisiensi penyaluran. Sementara, empat dari 10 responden khawatir dengan risiko korupsi.
Studi memperkirakan potensi kerugian hingga Rp 8,5 triliun pada 2025 apabila MBG tetap berjalan dengan skema sentralistik yang diusulkan saat ini.
Termasuk, risiko inefisiensi anggaran juga harus diwaspadai, terutama terkait distribusi rantai pasok yang terlalu panjang, yang bisa memperburuk ketepatan sasaran dan menghambat keberlanjutan program ini.
"79 persen masyarakat menolak opsi pembiayaan melalui utang luar negeri, mendesak pemerintah mencari solusi pembiayaan yang berkelanjutan," tambahnya.
Sebanyak 56 persen responden menyarankan MBG dimulai secara bertahap untuk mengurangi risiko kebocoran dana dan inefisiensi.
Peneliti Celios Bakhrul Fikri menilai, dana program MBG rentan dikorupsi. Risiko korupsi, kata dia, terdapat pada skema penyaluran dengan birokrasi yang panjang.
Melihat track record korupsi pengadaan barang dan jasa selama ini, maka tingkat korupsinya bisa signifikan. Selain itu, belum ada prosedur dalam antisipasi pemalsuan data dan pengawasan pengelolaan dana.
"Terakhir, daripada menyalurkan MBG melalui unit baru yang sentralistik, sebaiknya disalurkan langsung ke sekolah," terang Bakhrul.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.