Pneumonia Merebak di Mekkah, Jemaah Haji Diingatkan Pakai Masker
Pneumonia masih menempati urutan pertama sebagai penyakit yang paling banyak dialami jemaah haji dan dirawat di Klinik Kesehatan Haji Indonesia.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS,COM, JAKARTA - Pneumonia masih menempati urutan pertama sebagai penyakit yang paling banyak dialami jemaah haji dan dirawat di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Mekkah.
Dokter spesialis paru dan pernapasan di KKHI Makkah dr. Ali Asdar Sp.P, merekomendasikan tetap menggunakan masker untuk pencegahan, terutama bagi yang sakit.
“Berhenti merokok selama menjalankan ibadah haji, istirahat yang cukup sebelum dan sesudah ibadah haji, penuhi kebutuhan cairan, konsumsi makanan bergizi secara teratur, dan jika memiliki komorbid seperti PPOK, asma, diabetes melitus, jantung, ginjal, atau hati, tetap minum obat rutin secara teratur,” ungkap dr. Asdar dikutip dari laman kemenkes, Selasa (11/6/2024).
Ia menjelaskan, pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Berdasarkan penelitian di berbagai negara, bakteri gram positif merupakan penyebab utama pneumonia komunitas.
Baca juga: Jemaah Haji Tak Perlu Bawa Alat Masak Selama di Arafah, Sudah Disiapkan Paket Konsumsi Lengkap
“Hal ini menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terjadi perubahan pola kuman pada pneumonia komunitas di Indonesia bahkan mungkin di negara-negara lain sehingga perlu penelitian lebih lanjut,” kata dia.
Terdapat beberapa faktor risiko yang berkontribusi secara signifikan terhadap risiko infeksi pneumonia komunitas, antara lain usia, kebiasaan merokok, paparan lingkungan yang tidak sehat, malnutrisi, gangguan fungsi tubuh, kebersihan mulut yang buruk, penggunaan terapi imunosupresif, penggunaan steroid oral, dan penggunaan obat penghambat sekresi asam lambung.
Selain itu, resistensi antibiotik, peningkatan populasi usia lanjut, dan tingginya populasi dengan komorbiditas kronik juga turut berkontribusi terhadap peningkatan risiko infeksi pneumonia.
Menurut dr. Asdar, komorbiditas yang dikaitkan dengan pneumonia komunitas antara lain penyakit respirasi kronik (seperti PPOK atau asma), penyakit kardiovaskular, gagal jantung kongestif, diabetes melitus, penyakit ginjal atau hati kronik, dan penyakit serebrovaskuler seperti stroke.
Sebagian besar pasien pneumonia komunitas menunjukkan perbaikan klinis dalam 72 jam pertama setelah pemberian antibiotik awal.
Namun, diperkirakan 6-15 persen pasien pneumonia komunitas yang dirawat tidak menunjukkan respons dalam jangka waktu tersebut, dan tingkat kegagalan mencapai 40 persen pada pasien yang langsung dirawat di ICU.
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 48-72 jam tidak ada perbaikan, diagnosis, faktor-faktor pasien, obat-obat yang telah diberikan, dan bakteri penyebabnya harus ditinjau kembali.
“Pneumonia dapat menimbulkan komplikasi yang memerlukan tata laksana tambahan untuk menurunkan kesakitan dan kematian, karena jika pneumonia terus berlanjut akan mengalami perburukan seperti efusi pleura, empiema toraks, abses paru, sepsis, syok sepsis, gagal nafas dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) serta kematian,” kata dr. Asdar.