Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Fox dan Frost, Dua Anggota Batalyon Neo Nazi Azov Ukraina Dihukum Mati di Donetsk

Dua pentolan Batalyon Neo Nazi Azov Ukraina dihukum mati pengadilan Republik Donetsk. Keduanya dinyatakan terbukti mengeksekusi warga sipil Mariupol

Penulis: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Fox dan Frost, Dua Anggota Batalyon Neo Nazi Azov Ukraina Dihukum Mati di Donetsk
AFP/Getty/CBS News
Resimen Azov Unjuk kekuatan di Kota Kharkiv, 11 Maret 2022. 

TRIBUNNEWS.COM, DONETSK – Dua anggota pertama resimen nasional Azov Ukraina dijatuhi hukuman mati di Republik Rakyat Donetsk pada 9 Juli 2022.

Keduanya anggota kelompok neo Nazi Ukraina yang bertempur melawan Rusia, dan selama 8 tahun terakhir mempersekusi warga Donbass.

Terdakwa pertama bernama Konstantin Nikitenko yang memiliki codename Fox.

Dia dinyatakan pernah membawa kendaraa pengangkut personel lapis baja dan menembak orang-orang di jalan-jalan di Mariupol.

Dia membunuh warga sipil untuk bersenang-senang karena dia menganggap mereka pro-Rusia dan membagikan video aksinya secara online.

Baca juga: Rusia: Pejuang Batalyon Azov di Mariupol Tak Boleh Ditukar, Tapi Harus Diadili

Baca juga: Batalyon Azov Ukraina Laboratorium Nyata Nazisme dan Fasisme

Baca juga: Relawan Prancis Saksikan Kejahatan Perang Pasukan Ukraina dan Milisi NeoNazi Azov

Anggota neo Nazi Azov kedua adalah Nikolay dengan codename Frost. Dia dikenal sebagai penulis di  “Танцуй-Убивай” (Dance-Kill), saluran pro neo Nazi.

Dia dikenai dakwaan menembak tahanan Rusia, mengejek tubuh mereka dan membagikan video aksinya secara online.

BERITA REKOMENDASI

Pada 8 Juli 2022, Dewan Rakyat (Parlemen) Republik Rakyat Donetsk mencabut moratorium hukuman dan eksekusi mati.

Menurut Ketua Komite, hukuman mati dapat dijatuhkan secara eksklusif untuk kejahatan yang sangat serius yang mengganggu kehidupan, serta untuk kejahatan yang dilakukan selama masa perang.

Batalyon Azov atau juga dikenal Resimen Azov, mewadahi sukarelawan dan simpatisan neo Nazi yang bertempur di kelompok nasionalis Ukraina.

Mereka memiliki peran besar atas kudeta Maidan 2014, yang meruntuhkan pemerintahan lama yang memiliki hubungan baik dengan Moskow.

Setelah kelompok Volodymir Zelensky berkuasa, dan pasca revolusi Maidan 2014, Resimen Azov ini diintegrasikan ke Garda Nasional Ukraina.


Organisasi ini menggunakan simbol-simbol swastika Nazi, dan beberapa symbol lain yang digunakan pasukan SS Jerman.

Namun setelah Ukraina mengalami kekalahan telah di Mariupol, organisasi ini menghapus simbol Wolfsangel dari lencananya.

Lambang Wafen SS Divisi Panzer Nazi dan simbol Resimen Azov yang diintegrasikan ke Garda nasional Ukraina.
Lambang Wafen SS Divisi Panzer Nazi dan simbol Resimen Azov yang diintegrasikan ke Garda nasional Ukraina. (THEPOSTIL.COM)

Menurut surat kabar Inggris, rekrutan baru unit di kota Kharkov mengenakan tambalan dengan trisula emas, yang merupakan lambang nasional Ukraina.

Lambang Wolfsangel atau 'kail serigala' yang telah digunakan oleh Batalyon Azov sejak pembentukannya bertahun-tahun lalu dilepaskan.

Namun, komandan unit baru Azov, Maksim Zhorin, mengatakan kepada surat kabar perubahan itu masih sesuai prinsip dan dasar ideologis sama resimen Azov yang legendaris.

Wolfsangel adalah simbol heraldik bersejarah yang dipilih oleh Nazi selama Perang Dunia II dan muncul di lencana beberapa divisi SS.

Media Inggris The Times mengatakan kemunculan simbol Wolfsangel pada seragam Azov telah membantu mengabadikan klaim Rusia tentang Ukraina yang berada dalam cengkeraman nasionalisme sayap kanan.

Sebelum Rusia meluncurkan operasi ke Ukraina, penggunaan simbolisme Nazi oleh unit tersebut telah menimbulkan kekhawatiran di media Barat, termasuk outlet seperti majalah Time dan New York Times.

Batalyon Azov dibentuk pada tahun 2014 sebagai unit sukarelawan yang sebagian besar terdiri dari aktivis sayap kanan yang bersedia berperang melawan republik yang memproklamirkan diri di wilayah Donbass.

Beberapa bulan kemudian, secara resmi dimasukkan ke dalam Garda Nasional Ukraina atas perintah Presiden Petro Poroshenko saat itu.

Ketika serangan Rusia dimulai, Batalyon Azov, yang telah menerima pelatihan barat, dianggap sebagai salah satu formasi paling mampu di bawah komando Kiev.

Para pejuang nasionalis ditugaskan untuk melindungi Mariupol, sebuah pelabuhan strategis di Laut Azov, tetapi gagal memenuhi tujuan mereka.

Banyak dari mereka tewas, sementara sisanya, termasuk para komandan, menyerah kepada pasukan Rusia pada awal Mei setelah bersembunyi di pabrik baja Azovstal selama berminggu-minggu.

Selama pengepungan itu, Moskow menyalahkan unit Azov karena diduga menyandera warga sipil di fasilitas itu dan menggunakan mereka sebagai tameng manusia.

Rekaman para pejuang yang menyerah keluar dari pabrik menunjukkan banyak dari mereka yang memakai tato swastika dan simbol sayap kanan lainnya.

Barang-barang dan literatur terkait Nazi juga telah ditemukan di dalam pabrik baja dan di pangkalan Azov di Donbass yang telah direbut oleh Rusia.

Komite Investigasi Rusia telah meluncurkan kasus pidana terhadap pejuang unit tersebut atas penculikan, penyiksaan, dan penggunaan sarana dan metode perang yang dilarang.

Pengadilan Tinggi Rusia dijadwalkan untuk memutuskan gugatan yang menyerukan untuk menunjuk Batalyon Azov sebagai organisasi teroris dan melarangnya pada akhir Juni.

Denazifikasi Ukraina telah disorot sebagai salah satu tujuan operasi militer Moskow di Ukraina.

Rusia menyerang negara tetangga itu pada akhir Februari, menyusul kegagalan Kiev untuk menerapkan ketentuan perjanjian Minsk, yang pertama kali ditandatangani pada 2014.

Moskow akhirnya mengakui Republik Donbass di Donetsk dan Lugansk. Protokol Minsk yang ditengahi Jerman dan Perancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.

Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.

Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan telah membantah klaim mereka berencana merebut kembali kedua republik secara paksa.(Tribunnews.com/RT/Southfront.org/xna)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas