Komando Pertahanan Israel Ingin Belanja Besar-besaran, Siagakan 200 Mesin Tempur di Gaza
Kementerian Pertahanan Israel berencana membeli lebih dari 200 kendaraan lapis baja untuk dikerahkan dekat perbatasan dengan Jalur Gaza
Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Garudea Prabawati
Teror mematikan ini menjadi sorotan internasional, satu di antaranya adalah datang dari belahan Eropa.
Beberapa jam setelah Israel melakukan pembantaian Rafah, pemblokiran pasokan senjata untuk Israel diperintahkan kepada Pemerintah Belanda.
Pada Senin (12/2/2024), Pengadilan Belanda memerintahkan pemerintahan untuk memblokir ekspor semua suku cadang jet tempur F-35 ke Israel.
Hal ini terkait dengan kekhawatiran pelanggaran hukum internasional dalam gencarnya pemboman di Jalur Gaza.
“Tidak dapat disangkal bahwa terdapat risiko yang jelas bahwa suku cadang F-35 yang diekspor digunakan untuk melakukan pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan internasional,” bunyi pernyataan Pengadilan Belanda, seperti diberitakan Independent.
Selanjutnya, Pengadilan meminta pemerintah mematuhi putusan tersebut dalam waktu tujuh hari.
Juga menolak permintaan pengacara pemerintah untuk menangguhkan perintah tersebut saat mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Adapun, Rafah, yang berbatasan dengan Mesir, adalah tempat perlindungan terakhir bagi 1,4 juta warga Palestina, yang melarikan diri dari serangan militer Israel di bagian utara Jalur Gaza.
Pengadilan banding Belanda mengatakan kemungkinan besar F-35 digunakan dalam serangan di Gaza, sehingga menimbulkan korban sipil.
Sementara, kasus terhadap pemerintah Belanda diajukan pada bulan Desember lalu oleh beberapa kelompok hak asasi manusia, termasuk Oxfam yang berafiliasi dengan Belanda.
Baca juga: Serangan Israel di Rafah Tewaskan Puluhan Orang, 2 Tawanan Bebas
Kelompok hak asasi manusia berpendapat, pengiriman pemerintah Belanda “berkontribusi terhadap pelanggaran hukum humaniter yang berskala luas dan serius oleh Israel”.
Keputusan sebelumnya dari pengadilan yang lebih rendah tidak memerintahkan pemerintah untuk menghentikan ekspor.
Dikatakan bahwa negara mempunyai kebebasan yang besar dalam mempertimbangkan isu-isu politik dan kebijakan dalam memutuskan ekspor senjata.
Hal ini ditolak oleh pengadilan banding yang mengatakan bahwa kekhawatiran politik dan ekonomi tidak mengalahkan risiko pelanggaran hukum perang.