Kamala Harris atau Donald J Trump? Ini Plus Minus Mereka bagi Dunia Jika Jadi Presiden AS
Pertarungan Kamala Harris - Donald Trump melewati babak-babak ekstrem, penuh caci maki, tuduh sana-sini, silih serang terbuka.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Keduanya sama-sama menunjukkan komitmen bipartisan untuk meningkatkan ketegangan dengan Beijing. Mungkin hanya levelnya saja yang membedakan.
Brian Berletic, seorang analis geopolitik dan mantan perwira Marinir AS menyebut Kamala dan Trump sama-sama ingin kesinambungan agenda terhadap China dalam prspektif Washington.
Bedanya, Donald Trump menggunakan cara-cara yang terlihat nasionalistis, sementara Kamala Harris menghubungkannya dengan penegakan tatanan internasional di tangan Amerika.
Dalam konflik Taiwan misalnya, Joe Biden dan Kamala Harris terus mendorong separatisme di Taiwan dengan menambah bantuan militer dan memperluas kehadiran pasukan Amerika di pulau itu.
Di sini Amerika secara terbuka memperlihatkan hipokrisinya terkait kebijakan Satu China.
Ini yang selalu memantik kemarahan Beijing, yang menganggap Taiwan adalah provinsinya yang membangkang.
Trump, bagaimanapun secara terbuka menantang China dan membuat kebijakan-kebijakan keras yang meningkatkan tensi perang dagang kedua negara raksasa ini.
Trump memandang China adala ancaman terbesar bagi Amerika, yang secara ekonomi realitasnya capaian China hampir meruntuhkan dominasi Amerika.
Karena persamaan ini, maka siapapun yang menang, Kamala atau Trump, kebijakan terhadap Tiongkok akan berlanjut.
Militerisasi lebih lanjut di Asia-Pasifik telah berlangsung sejak era Donald Trump, dan kemudian diperluas lewat kehadiran AUKUS.
Elijah J Magnier, seorang koresponden perang veteran dan analis politik dengan lebih dari 35 tahun pengalaman meliput Timur Tengah dan Afrika Utara, mengatakan ada banyak kontradiksi di antara Kamala dan Trump..
Terutama mengenai masalah-masalah yang berkaitan Timur Tengah. Joe Biden maupun Kamala Harris selalu mengatakan ingin gencatan senjata di Gaza dan di Lebanon.
Ironisnya, mereka mendukung Israel dengan menyediakan semua senjata dan amunisi yang dibutuhkan Israel untuk mendukung perangnya di Gaza dan Lebanon.
Meski Kamala Harris berlatar jaksa profesional, keputusannya mendukung Israel yang dianggap pelanggar HAM dan melakukan genosida, sikapnya jauh dari liberalis yang menghargai demokrasi dan HAM.
Trump dalam beberapa kesempatan memberitahu Netanyahu ia akan mencoba membawa perdamaian ke Timur Tengah dan memerangi anti-semitisme jika terpilih
Tetapi Trump juga menegaskan dukungannya yang tak tergoyahkan pada Israel, hak membela diri dari serangan musuh.
Bahkan Trump mendukung perluasan Israel, dan mendorong usaha meruntuhkan Iran, yang dianggapnya ancaman terbesar bagi eksistensi Israel di Timur Tengah.
Karena itu jika Kamala atau Trump yang berkuasa di Amerika, konflik Timur Tengah, khususnya Israel-Palestina, Israel-Hizbullah, dan Israel-Iran, sulit menemukan jalan damai permanen.
Konflik Timur Tengah tetap akan menyala-nyala, meninggalkan kehancuran dan petaka kemanusiaan yang tidak bisa dibayangkan.
Terlebih negara-negara Teluk atau jazirah Arab, secara umum berusaha menyelamatkan kepentingan masing-masing mengingat masing-masing punya problem domestic yang berbeda.
Kerusakan kepemimpinan Hamas dan Hizbullah setelah tokoh-tokoh utamanya ditewaskan Israel, mungkin memberi harapan peredaan permusuhan atau peluang perdamaian.
Tapi semua akan tergantung bagaimana Iran menjalankan perlawanan terselubungnya terhadap Israel, lewat perang proksi di Suriah, Irak, Lebanon, dan tentu saja Yaman.
Masa Depan Perang Ukraina
Di Eropa Timur, Donald Trump mungkin lebih lugas menampilkan diri sebagai orang yang ingin menghentikan perang Rusia-Ukraina.
Khusus dalam konteks ini, Trump memilih posisi sangat berbeda dengan kebijakan Joe Biden dan Kamala Harris yang didukung Partai Demokrat.
Trump melihat Rusia bukan musuh dan ancaman besar bagi Amerika, sebagaimana pandangannya tentang Tiongkok.
Karena itu ia menjamin akan lebih mudah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, dan menghentikan perang yang sudah menghancurkan Ukraina.
Jika Trump menang, dan pendekatan ini dijalankan, maka Trump harus berhadapan dengan agenda NATO dan sejumlah negara Eropa yang sangat memusuhi Rusia.
Trump juga harus melawan elite Ukraina, yang sejak awal perang berusaha keras merebut dukungan Uni Eropa dan NATO.
Sederhananya, dalam konteks perang Rusia-Ukraina, jika Kamala Harris yang menang, situasi tidak akan banyak berubah. Peperangan juga akan berlanjut.
Sebaliknya jika Trump yang menang, maka perang Rusia-Ukraina mungkin akan berhenti. Ukraina akan dipaksa menerima pengakhiran konflik dengan risiko kehilangan teritorialnya.
Volodymir Zelensky dan para pendukungnya kemungkinan akan lengser lewat Pemilu yang sudah ditunda-tunda.
Sekarang, sulit untuk tidak melihat realitas baru hadirnya BRICS, forum negara-negara di dunia yang ingin mewujudkan hubungan internasional lebih adil dan setara.
Dimulai dari KTT ke-16 BRICS di Kazan Republik Tatarstan Rusia, BRICS melangkahkan kakinya yang kuat sebagai kekuatan baru yang berusaha menyeimbangkan barat dengan timur dan selatan.
Forum yang bekerja keras mewujudkan tatanan global yang multipolar atau multilateral, mengubah dunia unipolar yang selama ini dikendalikan Amerika dan sekutu baratnya.
Kamala dan Trump sama-sama dihadapkan pada realitas baru ini, termasuk dedolarisasi dalam urusan transaksi perdagangan global.
Perubahan sistem transaksi global rancangan BRICS yang memberi kesetaraan, keadilan, dan kemanfaatan bagi para penggunanya.
Sebagian warga dunia mungkin menunggu siapa yang terkuat di Amerika : Kamala Harris atau Donald Trump.
Tapi BRICS yang dipimpin kolektif oleh China, Rusia dan tujuh anggota lainnya, terus melangkah maju, tidak peduli Gedung Putih akan dipimpin siapa.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)